Entri Populer

Kamis, 03 Maret 2011

SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR

SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR
Pendahuluan
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti : (1) pengertian Hadits, dan perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar, (2) perbedaan as-Sunnah dengan Bid'ah, (3) cara penyampaian Hadits pada masa Nabi.
B. Pengertian Hadits dan Perbedaanya dengan As-Sunnah, al-Khabar dan Al-
Atsar
Dalam pembahasan ini pemakalah akan lebih mencermati pengertian Hadits, as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar serta perbedaan-perbedaan para ulama baik ulama Hadits, ulama Ushul, dan ulama Fiqh dalam merumuskan masing-masing definis tersebut di atas. Selain itu juga mengungkapkan perbedaan antara Hadits dengan as-Sunnah, Hadits dengan al-Khabar dan al-Atsar.
1. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya". Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
2. Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang wetgever di samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
3. Pengertian al-Khabar dan al-Atsar
a) Pengertian Khabar
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
b) Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
4. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.

C. Perbedaan As-Sunnah dengan Bid'ah
Pembahasan ini semata-mata hanya menekankan pada sisi perbedaan antara hadits dengan bid'ah, tidak membahas macam-macam bid'ah dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sisi hukum syara' maupun muamalah. Bid'ah, menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama, adalah :
"Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syarak yang jelas". Imam Syatibi, dalam kitabnya al-'Atisham, mengartikan bid'ah itu dalam bahasa sebagai penemuan terbaru. Dengan demikian, "bid'ah suatu pekerjaan yang belum ada contohnya, dinamailah pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya, bid'ah.
Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua golongan yang berlaian pendapat. Yang pertama adalah golongan ahli Ushul : pendapat pertama, yaitu golongan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid'ah. Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid'ah segala urusan yang sengaja diada-adakan, baik dalam urusan 'Ibadah, maupun dalam urusan 'Adat. Sedangkan kedua, adalah golongan Ahli Fuqaha, mempunyai dua pendapat. Perdapat pertama yang memandang bid'ah ; segala perbuatan yang tercela saja, yang menyalahi kitab, atu Sunnah, atau Ijma. Pendapat yang kedua, memandang bid'ah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan, baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).
Golongan Fuqaha yang hanya memandang bid'ah segala perbuatan yang tercela saja yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma', mendefinisikan Bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, perbuatan yang tercela, yaitu ; yang diada-adakan serta menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma': inilah yang tidak diizinkan Syara' sama sekali, baik perkataan, ataupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat saja ; dan tidak masuk ke dalamnya urusan-urusan kedunian. Sedangkan golongan Fuqaha yang memandang bid'ah yang terjadi sesudah Nabi, mendefinisikan bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, ialah : Segala yang diadakan-adakan sesudah Nabi (sesudah kurun yang diakui baiknya), baik yang diadakan itu kebajikan, maupun kejahatan, baik mengenai ibadah maupun menengnai adat (yakni yang dengannya dikehendaki maksud duniawi).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Bid'ah segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat, untuk dijadikan syara' dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubuhat (yang menyamarkan), atau karena sesuatu ta'wil. Sedangkan Sunnah, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Dengan kata lain sesuatu yang hanya bersumber atau disandarkan kepada Nabi semata-mata.
Dengan demikian antara Sunnah dan Bid'ah terdapat perbedaan yang sangat jelas sekali. Sunnah, sesuatu yang betul-betul bersumber atau sesuatu yang disandarkan kepada Nabi semata-mata, sedangkan Bid'ah merupakan sesuatu yang diada-adakan ahli atau seseorang yang tidak mempunyai dalil yang jelas. Walaupun dalam pembagian Bid'ah ada bid'ah Hahmudah dan bid'ah Mazmumah atau ada bid'ah Hasanah dan bid'ah Sayyiah. Ada yang membagi bid'ah wajib, bid'ah Sunnah, bid'ah Mubah, bid'ah Haram, dan bid'ah Makruh, tetapi perbedaan antara Sunnah dengan Bid'ah sangat jelas yaitu Sunnah sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi, sedangkan Bid'ah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi. Maka, KH.Moenawar Chalil mengatakan, bahwa "kita (ummat Islam) dalam mengerjakan agamanya haruslah mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi perbuatan-perbutan bid'ah dengan arti kata yang sebenarnya".
D. Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut :
(a) Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
(b) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.
(c) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
fathu Makkah.
(d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.

(e) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.
Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. Indah sekali, betapa bahagia dan indahnya umat pada saat itu.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut :
Menurut Jumhur Ulama (ulama Hadits, Ulama Ushul, dan Ulama Fiqh) berpendapat istilah Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu : Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Perbedaan Sunnah dengan Bid'ah dilihat dari segi pengertian maka, Sunnah merupakan sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW saja, sedangkan Bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak memiliki dasar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka
Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1995.
Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta,
1992.
Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet, Kesepuluh, 1996.
Sukarnawadi H.Husnuddu'at, Meluruskan Bid'ah, Dunia Ilmu, Surabaya, 1996.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua, 1998.
Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Kelima, 1978.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
Zulkarnain S, Makalah, Hadits Pada Masa Rasulullah SAW, Makalah disampaikan dalam Seminar kelas, pada Mata Kuliah Ulumul Hadits, Pasca Sarjana IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 24 April 1998.
MAKALAH REVISI, HADITS PADA MASA NABI Kajian Hadits dan Perbedaannya dengan as-Sunnah, al-Khabar, Atsar, HUJAIR AH. SANAKY PROGRAM PASCA SARJANA (S-2)

KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU

KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam halo rang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc Lendon dalam bukunya This is Teaching (hal : 10) : “Teacher is professional person who conducs classes” ( Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas). Sedangkan menurut Jean D. Grambs dan C Morris Mc Clare dalam Fondation of teaching, An Introduction to Modern Education (hal :141), “teacher are those person who consciously direct the experiences and behaviour of an individual so that education take place”. (Guru adalah mereka yang secara sadar mengarahkan pengalaman dan tingkah laku dari seorang individu hingga dapat terjadi pendidikan).
Jadi guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserrta didik. Orang yang disebut guru adalah orang yang memiliki kemampuan merangsang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.
Sedangkan dalam kegiatan proses pembelajaran tersebut, agar tujuan yang diharapakn dapat tercapai secara maksima maka guru juga harus memiliki kompetensi dalam mengajar. Kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau ketrampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (JJ. Litrell :310).
Kompetensi guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran dan pendidikan disekolah, namun kompetensi guru tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, dan lamanya mengajar. Kompetensi guru dapat dinilai penting sebagai alat seleksi dalam penerimaan calon guru, juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam rangka pembinaan dan pengembangan tenaga guru.Sealain itu, penting dalam hubungannya kegiatan belajar mengajar dan hasil belajar siswa. Dengan kompetensi profesional tersebut, dapat diduga berpengaruh pada proses pengelolaan pendidikan sehingga mampu melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu. Keluaran pendidikan yang bermutu dapat dilihat dari hasil langsung pendidikan yang berupa nilai yang dicapai siswa dan dapat juga dilihat dari dampak pengiring, yaitu peserta didik setela di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Banyaknya guru sebagai tenaga pendidik kurang profesional dan kompeten terhadap dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mempengaruhi mutu keluaran peserta didik dan kurang optimalnya pencapaian tujuan pendidikan.
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tugas dan tanggung sebagai guru, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh seorang guru sehingga guru sebagai pendidik sehingga dapat lebih profesional dan kompeten dalam menjalankan profesinya, untuk dapat melahirkan keluaran pendidikan yang bermutu.

BAB II
KAJIAN
2.1. Hakikat Profesi Dan Kompetensi Guru
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataanya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang kependidikan. Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapatmenerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut (Dr. H. Hamzah : 16) :
1. Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran yang diberikan serta dapat mengggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2. Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3. Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaian dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4. Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi lebih mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5. Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara berulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6. Guru wajib memerhatikan dan memikirkan korelasi antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
7. Guru harus terus menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
8. Guru harus dapat mengempangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik di dalam kelas maupun diluar kelas.
9. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan peserta secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaan tersebut.
Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa seta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, guru tidak hanya bertindak sebagai penyaji informasi tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator,motivator dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelola sendiri informasi. Dengan demikian keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.
Kompetensi guru pada hakikatnya tidak bisa lepas dari konsep hakikat guru dan hakekat tugas guru(Spencer 1993:7). Kompetensi guru mencerminkan tugas dan kewajiban guru yang harus dilakukan sehubungan dengan arti jabatan guru yang menuntut suatu kompetensi tertentu sebagaimana telah disebutkan. Ace Suryadi (1999:298-304) mengemukakan bahwa untuk mencapai taraf kompetensi seorang guru memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Ststus kompetensi yang profesional tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai kelompok profesi bersangkutan. Awalnya tentu harus dibina melalui penguatan landasan profesi, misalnya pembinaan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastruktur, pelatihan jabatan (in service training) yang memadai, efisiensi dalam sistem perencanaan, serta pembinaan administrasi dan pembinaan kepegawaian.
2.2.Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasrnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki ole seorang guru. Atau dengan perkataan lain guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusny ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun upgrading dan/atau pelatihan yng bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui kemampuan peningkatan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara bel;ajar siswa, diantaranya sebagi berikut (Dr. H. Hamzah : 17) :
1. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
2. Guru hendakny berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
3. Mengubah dari berbagai metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan metode tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
4. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok,percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
2.3.Kompetensi Dan Tugas Guru
Kompetensi profesional guru adalah merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman,2002). Pada umumnya disekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi profesional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar dimana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme yaitu, guru yang profesional adlah guru yang kompeten (berkemampuan), karena itu kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya dengan kemampuan tinggi (Muhibbin Syah : 230). Dengan kata lain kompetensi adalah pemilikan,penguasaan,ketrampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang.(A.Piet Sahertian :4)
Sedangkan menurut Depdikbud kompetensi yang harus dimiliki seorang guru (Komponen Dasar Kependidikan :25-26 ) adalah :
1. Kompetensi Profesional, guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter ( bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu memilih metode dalam proses belajar mengajar.
2. Kompetensi Personal, artinya sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumbr intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani”
3. Kompetensi Sosial, artinya guru harus mampu menunjukkan dan berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi untuk melakukan pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam memecahkan masalah , mencari sumber informasi, data evaluasi , serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya, dalam merencanakan pembelajaran baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang mendesai sekolah kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam penilaian. Berikut akan diuraikan tentang kompetensi profesional yang harus menjadi andalan guru dalam melaksanakan tugasnya.
2.4 Peranan Guru Dalam pembelajaran Tatap Muka
Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon (1998), yaitu sebagai berikut.
1. Guru sebagai Perancang Pembelajaran (Designer Instruction)
Pihak Departemen Pendidikan Nasional telah memprogram bahan pembelajaran yang harus diberikan guru kepada peserta didik pada suatu waktu tertentu. Disini guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM tersebut dengan memerhatikan berbagai komponen dalam sistem pembelajaran yang meliputi :
a. Membuat dan merumuskan bahan ajar
b. Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas, perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif,sistematis, dan fungsional efektif.
c. Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa.
d. Menyediakan sumbeer belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dalam pengajaran.
e. Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memerhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif,efisien, kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
Jadi dengan waktu yang sedikit atau terbatas tersebut , guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.
2. Guru sebagai Pengelola Pembelajaran (Manager Instruction)
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasi yang diharapkan.
Selain itu guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadianny sendiri. Salah satu ciri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit untuk mengurangi ketergantunganny pada guru hingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dari teori perkembangan hingga memungkinkan untuk menciptakn situasi belajar yang baik mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.
3. Guru sebagai Pengaruh Pembelajaran
Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut (Dr Hamzah B.Uno :23), (1)membangkitkan dorongan siswa untuk belajar (2) menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengjaran (3) memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik dikemudian hari (4) membentuk kebiasaan belajar yang baik.
4. Guru sebagai Evaluator (Evaluator of Student Learning)
Tujuan utama penilaian adalah adalah untuk melihat tingkat keberhasilan,efektifitas dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu untuk mengetahui untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas atau kelompoknya . Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peseta didik guru hendaknyasecra terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian proses pembelajaran akan terus menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal
5. Guru sebagai Konselor
Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia diharapkan akan dapat merespon segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran, Oleh karena itu, guru harus dipersiapkan agar :(1)dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya, (2) bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yng manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan bermacam-macam manusia. Pada akhirnya, guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka ataupun keinginannya. Semua hal itu akan memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain terutama siswa.
6. Guru sebagai Pelaksana Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Secara resmi kurikulum sebenarnya merupakan sesuatu yang diidealisasikan atau dicita-citakan (Ali,1985:30). Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.
Sedangkan peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum secara aktif (Dr.H.Hamzah B.Uno :26) antara lain yaitu : (1)perencanaan kurukulum (2)pelaksanaan di lapangan (3) proses penilaian (4)pengadministrasian (5) perubahan kurikulum
7. Guru dalam Pembelajaran yang Menerapkan Kurikulum Berbasis Lingkungan
Peranan guru dalam kurikulum berbasis lingkungan tidak kalah aktifnya dengan peserta didik. Sehubungan dengan tugas guru untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar, maka seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang memadai. Pengetahuan, sikap, dan ketramoilan yang dituntut dari guru dalam proses pembelajaran yang memiliki kadar pembelajaran tinggi dadasarkan atas posisi dan peranan guru, tugas dan tanggung jawab sebagai pengajar yang profesional.
Posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran (Dr. H. Hamzah.B.Uno 2007:27) , dimana guru harus menempatkan diri sebagai :
a. Pemimpin belajar, dalam arti guru sebagai perencana, pengorganisasi pelaksana, dan pengontrol kegiatan belajar peserta didik.
b. Fasilitator belajar, guru sebagai pemberi kemudahan kepada peserta didik dalam melakukan kegiatan belajarnya melalui upaya dalam berbagai bentuk.
c. Moderator belajar, guru sebgai pengatur arus kegiatan belajar peserta didik,. Selain itu guru bersama peserta didik harus menarik kesimpulan atau jawaban masalah sebagai hasil belajar peserta didik,atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan peserta didik.
d. Motivator belajar, guru sebagai pendorong peserta didik agar mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator guru harus dapat menciptakan kondisi kelas yang merangsang peserta untuk mau melakukan kegiatan belajar, baik individual maupun kelompok.
e. Evaluator belajar, guru sebagai penilai yang objektif dan komprehensif. Sebagai evaluator guru berkewajiban mengawasi, memantau proses pembelajaran peserta didik dan hasil belajar yang dicapainya. Guru juga berkewajiban melakukan upaya perbaikan proses belajar peserta didik, menunjukkan kelemahan dan cara memperbaikinya, baik secara individual, kelompok, maupun secara klasikal.
8. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Proses pembelajaran yang bernafaskan lingkungan lebih menekankan pada pentingnya proses belajar peserta daripada hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Karena itu proses pembelajaran peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawab guru. Ada beberapa kemampuan yang dituntut dari guru agar dapat menumbuhkan minat dalam proses pembelajaran (Sudjana dan Arifin, 1989: 31-39), yaitu sebagai berikut :
a. Mampu menjabarkan berbagai bentuk pembelajaran ke dalam berbagai bentuk cara penyampaian.
b. Mampu merumuskan tujuan pembelajaran kognitif tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Melalui tujuan tersebut maka kegiatan belajar peserta didik akan lebih aktif dan komprehensif.
c. Menguasai berbagai cara belajar yang efektif sesuai dengan tipe dan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik secara individual.
d. Memiliki sifat yang positif terhadap tugas profesinya, mata pelajaran yang dibinanya sehingga selalu berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan melaksanakn tugasnya sebagaiguru.
e. Terampil dalam membuat alat peraga pembelajaransederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang dibinanya serta penggunaannya dalam proses pembelajaran.
f. Terampil dalam menggunakan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
g. Terampil dalam melakukan interaksi dengan peserta didik, dengan mempertimbangkan tujuan dan materi pelajaran, kondisi pesertadidik, suasana belajar, jumlah peserta didik, waktu yang tersedia, dan faktor yang berkenaan dengan diri guru itu sendiri.
h. Memahami sifat dan karakteristi peserta didik, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar, minta terhadap pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil belajar yang telah dicapai.
i. Terampil dalammenggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
j. Terampil dalam mengelola kelas atau memimpin peserta didik dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi menarik dan menyenangkan
9. Syarat Guru yang Baik dan Berhasil
Tidak sembarang orang dapat melaksanakan tugas profesional sebagai seorang guru. Untuk menjadi guru yang baik haruslah memnuhi syarat yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Ngalim Purwanto,1985:170-175). Syarat utam untuk menjadi seorang guru, selain berijazah dan syarat-syarat mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah mempunyai sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran. Selanjutnya, dari syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan secara lebih terperinci, yaitu sebagai berikut :
a. Guru harus berijazah
Yang dimaksud ijazah disini adalah ijazah yang dapat memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai seorang guru di suatu sekolah tertentu.
b. Guru harus sehat Rohani dan Jasmani
Kesehatan rohani dan jasmani merupakan salah satu syarat penting dalam setiap pekerjaan. Karena orang tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika ia diserang suatu penyakit. Sebagai seorang guru syarat tersebut merupakan syaarat mutlak yang tidak dapat diabaikan. Misalnya saja seorang guru yang sedang terkena penyakit menular tentu saja akan membahayakan bagi peserta didiknya.
c. Guru harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik
Sesuai dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk manusia yang susila yang bertaqwa kepada Tuhan YME maka sudah selayaknya guru sebagai pendidik harus dapat menjadi contoh dalam melaksanakan ibadah dan berkelakuan baik
d. Guru haruslah orang yang bertanggung jawab
Tugas dan tanggung jawab guru sebagai seorang pendidik, pembelajar dan pembimbing bagi peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung yang telah dipercayakan orang tua/wali kepadanya hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu guru juga bertanggung jawab terhadap perilaku masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
e. Guru di Indonesia harus berjiwa nasional
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa dan adat istiadat berlainan. Untuk menanamkan jiwa kebangsaan merupakan tugas utama seorang guru, karena itulah guru harus terlebih dahulu berjiwa nasional
Syarat-syarat di atas adalah syarat umum yang berhubungan dengan jabatan sebagai guru. Elain itu ada syarat lain yang sangat erat hubungannya dengan tugas guru disekolah antara lain (DR. H. Hamzah.B.Uno 2007:30) (1) harus adil dan dapat dipercaya (2)sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya (3) memiliki kewibawaan dan tanggung jawab akademis, (4) harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya, (5) harus selalu instropeksi diri dan siap menerima kritik dari siapapun, (6) harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai sebagai seorang pengajar sangat tegantung pada diri pribadi masing-masing guru dalam lingkungan tempat ia bertugas. Sedangkan kompetensi guru adalah kemampuan yang dimiliki guruyang diindikasikan dalam tiga kompetensi, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan tugas profesionalnya sebagai guru (profesional), kompetensi yang berhubungan dengan keadaan pribadinya (personal), dan kompetensi yang berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya (sosial).
Diposkan oleh Venti Ayu di 08:02
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan cerminan rendahnya kualitas sistem pendidikan nasional. Rendahnya kualitas dan kompetensi guru secara umum, semakin membuat laju perkembangan pendidikan belum maksimal. Guru kita dianggap belum memiliki profesionalitas yang baik untuk kemajuan pendidikan secara global. Salah satu kambing yang paling hitam yang jadi penyebab semua ini adalah rendahnya kesejahteraan Guru. Tetapi apakah hal tersebut memiliki hubungan korelasional yang signifikan???
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru adalah kompetensi professional. Kompetensi profesional yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Yang dimaksud dengan penguasaan materi secara luas dan mendalam dalam hal ini termasuk penguasaan kemampuan akademik lainnya yang berperan sebagai pendukung profesionalisme Guru. Kemampuan akademik tersebut antara lain, memiliki kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai.
Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada kosong sama sekali, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas.
Beberapa bulan yang lalu, saya mengikuti training Guru Mata Pelajaran IPA Biologi SMP se kabupaten Luwu Timur. Setelah berkenalan dengan semua peserta, ternyata salah seorang peserta adalah guru honor di sebuah SMP di kawasan transmigrasi di Kabupaten Luwu Timur mengajarkan mata pelajaran IPA Terpadu, pada hal awalnya honor untuk guru Agama Hindu sedangkan latar belakang pendidikan hanya SPG (Sekolah Pendidikan Guru) setara SMA. Sebuah kondisi yang sungguh memprihatinkan bagi pendidikan di negara ini!!!
Sebuah Illustrasi: Seorang Guru biologi harus memiliki pemahaman yang benar terhadap kurikulum pendidikan biologi. Guru biologi harus dapat memahami batasan materi biologi dan keterampilan ilmiah yang mestinya dimiliki oleh anak di setiap jenjang pendidikan. Hal ini penting, agar tidak terjadi overlapping antara pembelajaran biologi di SD, SMP dan SMA. Akibatnya dapat berdampak pada ketidakjelasan grade di setiap jenjang pendidikan yang memunculkan kebingungan yang berujung stress dan frustasi terhadap anak dalam mengikuti pembelajaran di kelas.
Selain itu, seorang Guru biologi hendaknya dapat memiliki kemampuan dalam mengembangkan kurikulum nasional tentang pembelajaran biologi menjadi kurikulum berbasis sekolah yang lebih kontekstual bagi anak. Penjabaran kurikulum menjadi silabus pembelajaran yang sesuai dengan resources yang ada, akan dapat menciptakan situasi pembelajaran yang bermakna dan dimaknai oleh anak.

Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru
Sorang guru yang mendidik banyak siswa dan siswi di sekolah harus memiliki kompetensi. kompentensi yang harus dimiliki diantaranya adalah :
1. Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: (1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang dianutnya; (2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antarumat beragama; (3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat; (4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru misalnya sopan santun dan tata karma dan; (5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik.
2. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting. Oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional, kurikuler dan tujuan pembelajaran; (2) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa, paham tentang teori-teori belajar; (3) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya; (4) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (5) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (6) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (7) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (8) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan dan; (9) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
3. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok.
Kompetensi Pedagogik Guru Indonesia

Kompetensi Guru merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Guru, dinyatakan bahwasanya kompetensi yang harus dimiliki oleh Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Guru tersebut bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang satu sama lain saling berhubungan dan saling mendukung.Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam tulisan ini yakni antara lain kemampuan pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi pemahaman tentang psikologi perkembangan anak. Sedangkan Pembelajaran yang mendidik meliputi kemampuan merancang pembelajaran, mengimplementasikan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan.
Menurut Peraturan Pemerintah tentang Guru, bahwasanya kompetensi pedagogik Guru merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
1. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan.
Guru memiliki latar belakang pendidikan keilmuan sehingga memiliki keahlian secara akademik dan intelektual. Merujuk pada sistem pengelolaan pembelajaran yang berbasis subjek (mata pelajaran), guru seharusnya memiliki kesesuaian antara latar belakang keilmuan dengan subjek yang dibina. Selain itu, guru memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan pembelajaran di kelas. Secara otentik kedua hal tersebut dapat dibuktikan dengan ijazah akademik dan ijazah keahlian mengajar (akta mengajar) dari lembaga pendidikan yang diakreditasi pemerintah.
2. Pemahaman terhadap peserta didik
Guru memiliki pemahaman akan psikologi perkembangan anak, sehingga mengetahui dengan benar pendekatan yang tepat yang dilakukan pada anak didiknya. Guru dapat membimbing anak melewati masa-masa sulit dalam usia yang dialami anak. Selain itu, Guru memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap latar belakang pribadi anak, sehingga dapat mengidentifikasi problem-problem yang dihadapi anak serta menentukan solusi dan pendekatan yang tepat.
3. pengembangan kurikulum/silabus
Guru memiliki kemampuan mengembangkan kurikulum pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lingkungan sekolah.
4. Perancangan pembelajaran
Guru memiliki merencanakan sistem pembelajaran yang memamfaatkan sumber daya yang ada. Semua aktivitas pembelajaran dari awal sampai akhir telah dapat direncanakan secara strategis, termasuk antisipasi masalah yang kemungkinan dapat timbul dari skenario yang direncanakan.
5. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
Guru menciptakan situasi belajar bagi anak yang kreatif, aktif dan menyenangkan. Memberikan ruang yang luas bagi anak untuk dapat mengeksplor potensi dan kemampuannya sehingga dapat dilatih dan dikembangkan.
6. Pemanfaatan teknologi pembelajaran.
Dalam menyelenggarakan pembelajaran, guru menggunakan teknologi sebagai media. Menyediakan bahan belajar dan mengadministrasikan dengan menggunakan teknologi informasi. Membiasakan anak berinteraksi dengan menggunakan teknologi.
7. Evaluasi hasil belajar
Guru memiliki kemampuan untuk mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan meliputi perencanaan, respon anak, hasil belajar anak, metode dan pendekatan. Untuk dapat mengevaluasi, guru harus dapat merencanakan penilaian yang tepat, melakukan pengukuran dengan benar, dan membuat kesimpulan dan solusi secara akurat.
8. Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya
Guru memiliki kemampuan untuk membimbing anak, menciptakan wadah bagi anak untuk mengenali potensinya dan melatih untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan ini adalah dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas, berbasis pada perencanaan dan solusi atas masalah yang dihadapi anak dalam belajar. Sehingga hasil belajar anak dapat meningkat dan target perencanaan guru dapat tercapai. Pada prinsipnya, Kesemua aspek kompetensi paedagogik di atas senantiasa dapat ditingkatkan melalui pengembangan kajian masalah dan alternatife solusi.


Kompetensi Guru PAI Dalam Ranah Pendidikan Islam
Oleh : M.Nuryadin Edy Purnama, S.Sos.I
Dalam tulisan ini saya ingin mencoba menajamkan kembali perspektif pendidikan agama islam tentang guru. Bacaan ini penting untuk dieksplore pada tulisan ini mengingat kedudukan guru PAI sebagai bagian tak terpisahkan dari manifesto pendidikan Islam di sekolah umum. Profesi guru dalaam pendidikan Islam dianggap sebagai profesi yang mulia. Bahkan kedudukan seorang guru adalah setingkat di bawah kedudukan para Nabi. Posisi guru yang mulia ini disebabkan peranya yang strategis dalam membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk sehingga orang lain selamat di dunia dan akherat.
Sehingga Implikasi logis dari positioning guru yang mulia ini adalah adanya penghormatan dari siswa kepada gurunya. Penghormatan ini di satu sisi akan menguatkan brand image guru yang memang diperlukan dalam proses pendidikan. Namun demikian, penghormatan berlebihan kepada guru yang mewujudkan pada pengkultusan pribadi guru yang justru akan memasung sikap atau nalar kritis yang dimiliki oleh para muridnya. Diskripsi tipologi relasi guru dan siswa dalam khasanah islam konservatif (salafi) dapat kita baca dalam buku Ta’lim al-Muta’alim yang di karang oleh Alzarnuji. Dimana kitab salafi itu menjadi referensi penting dalam dunia pendidikan, namun di satu sisi oleh para aktifis pendidikan kitab itu mendapat kritikan yang tajam, karena content dari kitab itu sebagian menggambarkan relasi guru dan siswa yang sangat sakral dan dibatasi, dimana seoarang siswa tidak boleh bertanya kepada guru sebelum guru memberikan waktu, kemudian larangan membantah kepada guru dll.
Dalam sejarah pendidikan islam peofesi guru memilki beberapa sebutan seperti al-qori ( qur’an reader ), yakni mereka yang ahli membaca dan mengajarkan alqur’an, al-muaddib (private teacher) yakni guru khusus bagi anak-anak khalifah atau para pembesar yang lain atau al-qos (story teller) yakni mereka yang profesinya menceritakan kisah-kisah masa lalu. Seiring dengan lahirnya lembaga pendidikan “ madrasah”, guru sering disebut al-ustadz atau al mudaris sengkan asisten guru disebut al-mu’id, adapun istelah syeikh lebih sering dipakai untuk menyebut seorang yang sepuh atau alim dalam hal agama atau sebagaian juga sering disebut dalam dunia tasawuf.
Al-ghazali mengemukakan beberapa sikap (kompetensi ) yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu (1) menyayangi siswanya layaknya menyayangi anaknya sendiri , (2) meneladani sikap nabi Muhammad SAW dengan tidak menuntut atau menghrap upah/balasan yang menjadi konsekwensi mengajar, (3) selalu memberikan nasehat kepada peserta didiknya, (4) menjaga siswanya dari akhlak buruk dengan cara yang santun dan penuh kasih kasih sayang, (5) mengajarkan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa, tidak boleh mengajarkan materi yang terlalu berat bagi siswa, (6)mengimplemtasikan ilmu yang dimiliki, artinya antara perbuatan guru harus relevan dengan apa yang dikatakan atau diajarkannya, dan (8) sabar, tawadu’ dan baik akhlaknya. Guru yang kurang sabar berarti dia tidak pantas jaddi guru. Guru yang yang sombong tidak akan memberikan manfaat apapun kepada siswa justru akan menjadi candu yang mengobesesi tabiat jelek anak didiknya kedepan.
Ibnu Khaldum dalam mukadimahnya memberikan narasi tentang kompetensi apa yang harus dimilki oleh seorang guru yaitu perlunya guru memperhatikan “seni mengajar dan mendidik” seorang guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang diajarkan tetapi ia harus memilki pengetahuan tentang psiklogi anak mengetahui tingkat kesiapan belajar mereka dan bakat intelektual, sedangkan Ibnu Sina dalam perhatiannya tentang pendidikan lebih menekankan pentingnya memperhatian perbedaan-perbedaan individual (defferensial personality) untuk mengukur neraca pikir anak didik sehingga bisa menyesuaikan materi pelajaranya dengan kemampuan.
Dari beberapa pendapat tokoh pendidikan Islam diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam sangat memperhatikan kompetensi kepribadian guru . Dalam pandangan mereka, kepribadian akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pendidikan. Dalam diKtum Arab dikatakan bahwa “Proses itu lebih penting dari hasilnya”. Tampaknya kompetensi guru dalam perspektif pendidikan Islam banyak yang sesuai dengan kompetensi guru yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan umum. Kesesuaian ini terutama menyangkut tentang kompetensi kepribadian guru. Sementara itu hal-hal yang berkaitan dengan metodologi pengajara, seperti yang dirumuskan para tokoh Islam diatas, ada yang perlu disesuiaikan dengan teori pendidikan yang telah berkembang.
Disnilah dapat kita baca secara jelas bahwa substansi dari PAI dapat dikategorikan sebagai pendidikan nilai (value education), karena misi utamanya adalah menanamkan nilai Islam ke dalam diri siswa atau peserta didik, di samping memberikan bekal pengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman. Oleh karena itu, penekanan utama adalah pada pembentukan (charcter building) siswa agar sesuai dengan kepribadian sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam. Itulah sebabnya, PAI lebih menekankan pada ranah afektif dan psikomotorik daripada hanya sekedar kognitif seperti tercemin dalam kurikulum PAI tahun 1994.
Instrument guru merupakan salah satu instrument terpenting dalam pendidikan nilai karena posisinya sebagai sumber identifikasi nilai moral atau sumber keteladanan bagi peserta didik. Itulah sebabnya, keberadaan guru PAI menjadi sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Keberadaan guru PAI tidak bias digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain, karena guru PAI tidak semata-mata berperan dalam kegiatan transfer of knowledges saja.
Perspektif peran guru Pendidikan Agama Islam (PAI), memimjam istilah Ivor K. Davies, seorang penulis program pengajaran terkemuka, mengatakan bahwa pembaruan pendidikan tidak akan efektif tanpa mempersiapkan manusia yang akan membuat sistem pendidikan itu efektif. Davies, juga berpendapat hanya ada satu cara mengubah sistem pendidikan menjadi efektif yaitu dengan cara mengubah manusia yang akan mengelola pendidikan yang bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan teori Piaget (1973), orang yang telah mengabdikan dirinya untuk memahami proses belajar pada anak-anak, mengomentari bahwa latihan tenaga kependidikan adalah sangat penting dalam rangka pembaruan pendidikan. Selagi latihan-latihan dan proses pendidikan guru tidak memuaskan, kurikulum yang bagaimanapun baiknya dan teori belajar yang bagaimanapun hebatnya, tidak akan mampu membantu anak didik dalam belajar. Wallahua’lam bishshowab…


KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH ALIYAH IBNUL QOYYIM YOGYAKARTA

Keyword : Kompetensi, Guru, Pendidikan Agama Islam
ABSTRAK

Madrasah Aliyah Ibnul Qoyyim merupakan lembaga pendidikan Islam, yang bertanggung jawab untuk menjadikan anak didiknya menjadi generasi penerus bangsa yang mempunyai kepribadian muslim, sebagaimana dalam tujuan pendidikan Islam. Kompetensi guru PAI dalam hal ini sangat berperan penting, sehingga nilai-nilai luhur agama Islam yang diajarkan bukan hanya menjadi ilmu pengetahuan saja, tetapi dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga nantinya para siswa di samping mempunyai kecerdasan intelektual dan pemahaman agama yang baik, juga mempunyai akhlak yang terpuji. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial guru serta upaya kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi guru PAI. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipergunakan oleh pihak madrasah dalam meningkatkan kompetensi guru demi terlaksananya proses pembelajaran PAI yang lebih baik serta dapat menambah wawasan bagi penulis tentang kompetensi guru.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil lokasi di Madrasah Aliyah Ibnul Qoyyim. Subyek data dalam penelitian ini adalah kepala madrasah, guru PAI, staf madrasah dan siswa Madrasah Aliyah Ibnul Qoyyim. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi (pengamatan), wawancara, dan dokumentasi. Pemerikasaan keabsahan data dilakukan melalui teknik triangulasi data yaitu membandingkan data hasil pengamatan dan hasil wawancara, serta membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Guru PAI di Madrasah Aliyah Ibnul sudah memiliki kompetensi yang cukup baik. Namun ada beberapa aspek kompetensi yang belum dipenuhi dan dikuasai oleh guru PAI diantaranya ialah: Pertama, guru PAI di Madrasah Aliyah Ibnul Qoyyim belum berijazahkan sarjana. Kedua, dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas guru tidak membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Ketiga, dalam menyampaikan materi guru tidak terbiasa menggunakan media dan metode pembelajaran secara variatif. (2) Usaha yang dilakukan kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi guru PAI meliputi: Pertama, mengikut sertakan guru PAI dalam kegiatan organisasi profesi guru, seperti Kelompok Kerja Guru (KKG). Kedua, mengadakan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Ketiga, mengadakan supervisi kelas. Keempat, mengikut sertakan guru dalam seminar-seminar pendidikan.

Kecerdasan Sosial

KECERDASAN SOSIAL

A. Kecerdasan Sosial
1. Pengertian Kecerdasan Sosial
Kecerdasan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada saat berinteraksi dengan orang lain, seseorang harus dapat memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan teman interaksinya, kemudian memberikan respon yang layak. Hal ini juga yang mendasari kecerdasan sosial, dimana kecerdasan sosial merupakan suatu keterampilan individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemudian Thorndike (dalam Goleman, 1995) menambahkan pengertian kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Selanjutnya Alder, (2001) mengatakan bahwa karyawan yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan pintar menangani perselisihan yang muncul. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh sekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan, mereka membuat orang lain merasa tentram, dan menimbulkan komentar secara sosial: “menyenangkan sekali bergaul dengannya”.
Kemudian Anderson, (dalam Safaria, 2005) mengungkapkan konsep kecerdasan sosial diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan.
Handy, (2006) mengatakan bahwa kecerdasan sosial ialah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia. Kemudian kecerdasan sosial itu dibentuk oleh intelektual, emosional (perasaan) dan spiritual. Dengan menggunakan asumsi sederhana, bahwa segala sesuatu pasti ada pola dan prosedurnya, maka kecerdasan intelektual adalah pertama yang harus dimiliki. Namun hal itu harus segera disusul dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Seluruh kecerdasan ini akhirnya harus bersinergi sehingga memiliki suatu kemampuan dalam pengembangan kecerdasan sosial yang baik dalam memahami diri sendiri dan juga orang lain.
Kemudian Kecerdasan sosial yang dipaparkan oleh Goleman, (2007) sebagai hubungan interpersonal, baik atau buruk, memiliki kekuatan untuk membentuk otak kita dan mempengaruhi sel-sel tubuh yang dapat menciptakan suatu kemampuan dalam memahami orang lain, membentuk relasi dan mempertahankannya dengan baik. Hubungan antar pribadi dan interaksi sosial kita terkait dengan rancangan sosiabilitas. Kita terancang untuk sosiabilitas, untuk terus menerus terlibat dalam tarian syaraf yang menghubungkan otak kita dengan otak orang lain di sekitar kita. Reaksi kita pada orang lain dan reaksi mereka terhadap kita memiliki dampak biologis yang mendalam, dengan mengirimkan sejumlah besar hormon yang mengatur segala hal. Hal inilah yang menurut Goleman menjadikan hubungan baik kita dengan orang lain, seperti vitamin yang menyehatkan, tetapi hubungan kita yang buruk dengan orang lain seperti racun.
Selanjutnya Magdalena, (2007) menjelaskan kecerdasan sosial ini biasanya di mulai dari hal–hal yang dianggap kecil atau gampang, seperti dimulai dari satuan masyarakat terkecil yakni keluarga, dan interaksi kita dengan para tetangga, sampai kepada hal–hal yang dianggap besar misalnya dalam ruang lingkup sebuah perusahaan seharusnya setiap karyawan itu memiliki kompetensi antara lain ketepatan empatik, kejujuran, keterbukaan, penyelerasan, kesederhanaan, kedamaian, kebersamaan, dan kepedulian sehingga terjadi suatu interaksi yang baik dengan orang lain.
Sebelumnya Ford (dalam Latifah, 2000) memberi definisi mengenai kecerdasan sosial yaitu tindakan yang sesuai dengan tujuan dalam konteks sosial tertentu, dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan memberikan efek yang positif bagi perkembangan. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi mampu mengekspresikan perhatian sosial lebih banyak, lebih simpatik, lebih suka menolong dan lebih dapat mencintai.
Krasnor (dalam Denham dkk, 2003) mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai keefektifan dalam berinteraksi, hasil dari perilaku-perilaku teratur yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada masa perkembangan dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dalam suatu bentuk atau dimensi evaluasi diri (self evaluation), dengan kompetensi yang dimilikinya.
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan sosial sebagai hubungan interpersonal bersifat baik atau buruk, sehingga terciptanya suatu kemampuan dalam memahami dan mengelola orang lain serta keterampilan seseorang dalam membentuk relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya, sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi saling menguntungkan.
Dari beberapa teori yang menyebutkan defenisi kecerdasan sosial maka penulis mengambil teori Goleman, (2007) sebagai teori utama karena kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Goleman, (2007) mengungkapkan kecerdasan sosial sebagai suatu hubungan interpersonal, baik atau buruk, memiliki kekuatan untuk membentuk otak kita dan mempengaruhi sel-sel tubuh sehingga dapat menciptakan suatu kemampuan dalam memahami orang lain untuk membentuk relasi dan mempertahankannya dengan baik.

2. Komponen-Komponen Kecerdasan Sosial
Didalam menerapkan keterampilan kecerdasan sosial yang baik sangat diperlukan banyak hal yang mendukung agar mencapai interaksi yang efektif. Dengan itu Goleman, (2007) menyatakan adanya dua komponen utama dalam membangun kecerdasan sosial yang baik yaitu kesadaran sosial dan fasilitas sosial yang masing-masing komponen tersebut terdiri dari beberapa indikator, yaitu sebagai berikut :
1. Kesadaran sosial
Kesadaran sosial merujuk pada spektrum yang merentang dari secara instan merasa keadaan batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, untuk ”mendapatkan” situasi sosial yang baik meliputi :
a. Empati dasar
Suatu kemampuan untuk merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal dengan orang lain dalam berinteraksi dengan orang lain. Dan kemampuan merasakan emosi orang lain berupa sebuah kemampuan jalan-rendah yang berlangsung cepat dan spontan atau muncul dan gagal dengan cepat dan otomatis.
b. Penyelarasan
Perhatian yang melampaui empati sesaat ke kehadiran yang bertahan untuk melancarkan hubungan yang baik, yaitu dengan menawarkan perhatian total kepada seseorang dan mendengarkan sepenuhnya, berusaha memahami orang lain lebih daripada menyampaikan maksud tertentu. Mendengarkan secara mendalam seperti itu kelihatannya merupakan kemampuan alamiah. Meskipun begitu, seperti halnya dengan dimensi-dimensi kecerdasan sosial lainnya orang bisa memperbaiki keterampilan penyelarasannya yang baik.
c. Ketepatan empatik
Ketepatan empatik dibangun di atas empati dasar namun menambahkan suatu pengertian lagi yaitu adanya suatu kemampuan untuk memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain dalam berinteraksi dengan orang lain sehingga tercipta interaksi yang baik dan harmonis.
d. Pengertian sosial
Pengertian sosial merupakan aspek keempat dari kesadaran sosial adalah pengetahuan tentang bagaimana dunia sosial itu sebenarnya bekerja. Orang yang memiliki kemahiran dalam proses mental ini tahu apa yang di harapkan dalam kebanyakan situasi sosial. Kemahiran sosial ini dapat di lihat pada diri mereka yang secara tepat membaca arus-arus politik dalam sebuah organisasi.
2. Fasilitas sosial
Semata-mata dengan merasakan bagaimana orang lain merasa, atau mengetahui apa yang mereka pikirkan tidak akan menjamin interaksi yang kaya, maka dari itu adanya fasilitas sosial, namun fasilitas sosial juga bertumpu pada kesadaran sosial untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif, yang meliputi :
a. Sinkroni
Berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal. Sebagai landasan fasilitas sosial, sinkroni adalah batu fondasi yang menjadi landasan di bangunnya aspek-aspek lain. Kegagalan dalam sinkroni merusak kompetensi sosial, membuat interaksi menjadi tidak selaras. Sinkroni memungkinkan kita bergerak dengan anggun melalui tarian nonverbal bersama orang lain dengan tanda-tanda sinkroni mencakup rentang interaksi yang terkonsentrasi secara harmonis, dari senyuman atau mengangguk pada waktu yang tepat untuk semata-mata mengarahkan tubuh kita pada orang lain.
b. Presentasi diri
Suatu kemampuan untuk mempresentasikan atau menampilkan diri sendiri secara efektif untuk menghasilkan kesan yang di kehendaki. Salah satu hal yang di pandang penting dalam presentasi diri yaitu adanya kemampuan untuk ”mengendalikan dan menutupi ”. Orang yang mahir dalam pengendalian itu merasa percaya diri dalam segala situasi sosial, memiliki kemampuan untuk tindakan yang pada tempatnya. Mereka dengan mudah bisa tampil tenang dan penuh kendali diri.
c. Pengaruh
Adanya suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat membentuk hasil interaksi sosial yang baik. Dengan menggunakan kemampuan bicara yang hati-hati dan adanya kendali diri dan mendekati orang lain dengan perilaku profesional, tenang dan penuh perhatian.
d. Kepedulian
Kepedulian adalah kemampuan seseorang untuk berbelas kasihan, peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Kepedulian mendorong kita untuk mengambil tanggung jawab apa yang perlu di lakukan dengan baik dan akan menimbulkan orang-orang yang prihatin, yaitu seseorang yang paling bersedia mengambil waktu dan berusaha untuk membantu seorang koleganya.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa untuk membangun kecerdasan sosial yang baik kedua komponen diatas sangat diperlukan dan saling berhubungan. Kesadaran sosial dengan merasakan bagaimana orang lain merasa, atau mengetahui apa yang mereka pikirkan tidak akan menjamin interaksi yang kaya, maka dari itu adanya fasilitas sosial, fasilitas sosial juga bertumpu pada kesadaran sosial untuk memungkinkan interaksi yang mulus dan efektif,
Alasan penulis menggunakan komponen-komponen kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Goleman, (2007) sebagai alat ukur kecerdasan sosial dikarenakan komponen-komponen kecerdasan sosial yang diungkapkan oleh Goleman, (2007) membahas komponen-komponen kecerdasan sosial yang dapat dilihat pada keadaan para karyawan di PT Jasa Raharja (Persero) Banda Aceh yaitu pada saat memberikan pelayanan terhadap nasabah pengguna Jasa Raharja tersebut.

Syair Cinta Ala Ghibran

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang? ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

Pabila? cinta menggamitmu, ikutlah ia
Walaupun jalan-jalannya sukar dan curam
Pabila ia mengepakkan sayapnya,
Engkau serahkanlah dirimu kepadanya
Walaupun pedang yang tersisip pada sayapnya akan melukakan kamu.

Pabila ia berkata-kata
Engkau percayalah kepadanya
walaupun suaranya akan menghancurkan mimpimu
seperti angin utara yang memusnahkan taman-taman
kerana sekalipun cinta memahkotakan kamu
Ia juga akan mengorbankan kamu
walaupun ia menyuburkan dahan-dahanmu
ia juga mematahkan ranting-rantingmu
walaupun ia memanjat dahanmu yang tinggi
dan mengusap ranting-rantingmu yang gementar
dalam remang cahaya matahari
ia juga turun ke akar-akarmu
dan menggoncangkannya dari perut bumi

Seperti seberkas jagung
ia akan mengumpulmu untuk dirinya
membantingkanmu sehingga engkau bogel
mengayakkanmu sehingga terpisah kamu dari kulitmu
mengisarkanmu sehingga engkau menjadi putih bersih
mengulimu agar kamu mudah dibentuk
dan selepas itu membakarmu di atas bara api
agar kamu menjadi sebuku roti yang diberkati
untuk hidangan kenduri Tuhanmu yang suci

Semua ini akan cinta lakukan kepadamu
supaya engkau memahami rahsia hatinya
dan dengan itu menjadi wangi-wangian kehidupan
tetapi seandainya di dalam ketakutanmu
engkau hanya mencari kedamaian dan nikmat cinta
maka lebih baiklah engkau membalut dirimu
yang bogel itu
dan beredarlah dari laman cinta yang penuh gelora
ke dunia gersang yang tidak bermusim
di sana engkau akan ketawa
tetapi bukan tawamu
dan engkau akan menangis
tetapi bukan dengan air matamu

Cinta tidak memberikan apa-apa melainkan dirinya
dan tidak mengambil apa-apa melainkan daripada dirinya
cinta tidak mengawal sesiapa
dan cinta tidak boleh dikawal sesiapa
kerana cinta lengkap dengan sendirinya

Dan pabila engkau bercinta
engkau tidak seharusnya berkata
“kejadian adalah hatiku,” sebaliknya berkatalah:
“aku adalah kejadian”

Dan janganlah engkau berfikir
engkau boleh menentukan arus cinta
kerana seandainya cinta memberkatimu
ia akan menentukan arah perjalananmu

Cinta tiada nafsu melainkan dirinya
tetapi seandainya kamu bercinta
dan ada nafsu pada cintamu itu
maka biarlah yang berikut ini menjadi nafsumu;
menjadi air batu yang cair
membentuk anak-anak sungai
yang menyanyikan melodi cinta
pada malam yang gelap gelita
untuk mengenal betapa pedihnya kemesraan
untuk merasa luka kerana engkau kini mengenali cinta
dan rela serta gembira
melihat darah dari lukanya
untuk bangun pada waktu fajar dengan hati yang lega
dan bersyukur untuk satu hari lagi yang terisi cinta
untuk beristirehat ketika matahari remang
untuk mengingati kemanisan cinta yang tidak terperi
untuk kembali ke rumahmu ketika air mati
dengan rasa kesyukuran di dalam hati
dan dalam tidurmu berdoalah untuk kekasihmu
yang bersemadi di dalam hatimu
dengan lagu kesyukuran pada bibirmu


Ditulis oleh Kahlil Gibran

Senin, 29 November 2010

Beda Pria dan Wanita

Pria dan Wanita















Wanita adalah:
1. Orang yang akan mendampingimu seumur hidup.
2. Orang yang akan melahirkan anak-anakmu, walau dengan penuh rasa sakit.
3. Orang yang merawatmu sampai tua.
4. Orang yang akan merawatmu pd saat kau sakit.
5. Orang yang akan selalu mendukung walau kau gagal berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali.
6. Orang yang memberikan hidupnya untukmu. Bahkan ia membuang egonya demi bersamamu. Bahkan saat kau menyakitinya, ia tetap berada di sampingmu..
Sedangkan pria adalah..
1. Orang yang akan menjagamu seumur hidupmu.
2. Orang yang berkorban untukmu.
3. Orang yang menafkahimu.
4. Orang yang merawatmu pd saat kau sakit.
5. Orang yang memelukmu pada saat kau sedih.
6. Orang yang ingin membuatmu bahagia.
Mereka sama berharganya, hanya saja mereka mempunyai perbedaan-perbedaan yang kadang membuat mereka menyakiti satu sama lain, dan itu hanya dapat diatasi dengan pengertian dari kedua belah pihak.
Hidup itu singkat… Terlalu singkat untuk berbagai pertengkaran… Mengapa tidak kau bahagiakan saja pasanganmu, dan mengisi hari-hari kalian dengan penuh cinta, dan membuat pasanganmu tersenyum lebih lebar tiap harinya?
Bukankah itu lebih baik dan bahagia dibanding saling menyakiti? Walaupun banyak hal, dimana kenyataannya tak mudah untuk dilalui, bahkan terkadang enggan untuk melaluinya.
Melihat ke atas : memperoleh semangat untuk maju.
Melihat ke bawah : bersyukur atas semua yg ada.
Melihat ke samping : semangat kebersamaan.
Melihat ke belakang : sebagai pengalaman berharga.
Melihat ke dalam : untuk instropeksi.
Melihat ke depan : untuk menjadi lebih baik.
Dari air kita belajar ketenangan…..
Dari batu kita belajar ketegaran…..
Dari tanah kita belajar kehidupan…..
Dari kupu-kupu kita belajar merubah diri…..
Dari padi kita belajar rendah hati…..
Dari TUHAN kita belajar tentang kasih yang sempurna……
Karena tidak ada orang yang sempurna…

Tipe Teman Sejati

4 Tipe teman yang baik


Teman adalah tempat seseorang berbagi suka dan duka. Sebaik-baiknya teman haruslah membawa dampak positif pada diri seseorang. Jika ingin mengetahui termasuk tipe orang seperti apakah kita, lihatlah teman di sekeliling Anda. Ada 4 jenis teman yang patut Anda miliki.
Seperti dikutip dari Huffington Post, Robert Wicks, seorang profesor psikologi sekaligus pengarang buku Living the Resilient Life mengatakan ada 4 jenis teman yang patutkita cari dan masuk dalam siklus hidup manusia, yang tentunya akan membuat hidup lebih bahagia dan berkualitas.
1. Tipe pengkritik
Teman dengan tipe jenis ini akan selalu mengingatkan ketika kita melakukan kesalahan. Tanpa diminta pun, ia akan selalu mengkritik kita bila melakukan sesuatu hal yang menyimpang. Tipe ini sangat baik untuk mengingatkan kita pada jalan yang benar, meskipun terkadang menyakitkan mendengar kritiknya yang agak pedas.
2. Tipe pendukung
Anda yang memiliki teman seperti ini sangat beruntung, karena teman tipe ini akan selalu mendukung apa yang Anda lakukan dan ikut bahagia dengan kesuksesan Anda. Anda akan selalu merasa semangat dan termotivasi bila berada dekat-dekat dengannya.
3. Tipe penggembira
Mungkin tipe seperti ini yang lebih banyak disukai. Teman dengan tipe penggembira akan selalu membuat Anda ceria kembali di saat sedih dan berduka. rasanya tidak lengkap jika berkumpul tapi tidak ada teman Anda yang satu ini. Di saat Anda frustasi dan depresi, teman tipe inilah yang lebih banyak membuat Anda tertawa.
4. Tipe pembimbing
Anda akan merasa lebih bahagia ketika memiliki teman tipe ini. Berada di sekitarnya akan membuat Anda merasa tenang dan damai. Ia pun akan selalu memberi masukan dan nasihat yang berguna dikala Anda membutuhkannya. Rasanya hidup Anda menjadi terarah karena ada teman yang memberi masukan penting untuk hidup Anda.
Jika Anda belum memiliki teman-teman seperti di atas, sebaiknya mulailah mencari karena saling berbagi karena teman yang seimbang akan membuat hidupAnda lebih seimbang. Anda pun bisa terhindar dari penyakit stres dengan saling berbagi dengan mereka.

Tips Motivasi

6 TIPS MOTIVASI

Tulisan ini saya tujukan untuk memotivasi diri saya sendiri. Semoga dapat memberi manfaat kepada sahabat yang telah secara rutin dan berkala berkunjung ke halaman-halaman pada web ini ataupun yang kebetulan mampir.
6 Tips motivasi
Secara ringkas, motivasi adalah semangat pendorong untuk melakukan sesuatu. Berikut ini adalah beberapa tips motivasi yang semoga bermanfaat.
1.  Selalu bersyukur akan apa yang kita dapatkan.
Mungkin hal ini adalah sederhana, namun sangat memotivasi diri kita saat kita terpukul atau terjatuh dengan target-target yang dinanti-nanti dan diharapkan untuk terjadi, tapi faktanya meleset. Pengungkapan syukur melalui 3 cara.
  • Dengan hati. Lihatlah sekeliling kita yang ada dibawah kita. Yakin hal ini akan membuat hati kita lembut dan mensyukuri akan nikmat-nikmat yang oleh sebagian orang tidak dapat menikmatinya.
  • Dengan lisan, dengan ucapkan alhamdulillah. Nikmat yang kita rasakan tidak akan kita peroleh tanpa seijin dari pemilik tubuh kita, pemilik jasad kita, juga pemilik ruh kita. Trus kita ini siapa? Kita adalah makhluk yang diberi pinjaman untuk dapat berkarya, dan membagikan kebahagiaan kepada orang lain.
  • Dengan perbuatan. Syukur dengan membagikan kebahagiaan kepada orang lain. Rasakanlah kebahagiaan yang timbul saat kita dapat melihat kebahagiaan yang muncul melalui tangan kita. Ada rasa menyeruak dalam dada merasakan bahagia meski buliran air mata mengalir tidak terasa. Jika kita pernah merasakannya, ulangi ulangi dan ulangi.
2. Lakukan apa yang kita minati.
Hal ini akan memotivasi kita untuk melakukannya. Karena dengannya kita merasa enjoy, dan dengannya tak kan ada rasa bosan dan letih. Banyak dari saudara kita yang mereka bekerja karena tuntutan, bukan karena mereka menyukainya. Dari hasilnya kita akan tahu mana yang bekerja karena menyukainya, atau bekerja karena tuntutan. Orang bekerja dengan diikuti rasa senang, akan menambahkan detil-detil secara sukarela.
3. Jika tidak seperti yang kita inginkan.
Yakinkan pada diri sendiri, jika posisi ini adalah step awal menuju yang kita inginkan. Tentunya ada hikmahnya. Apapun keadaanannya. Tetap lakukan yang terbaik yang kita bisa, karena itu memperlihatkan kualitas kita.
4. Cermati, perhitungkan, dan tangkap peluang yang ada.
Setiap kita memiliki peluang-peluang menuju sukses. Namun hanya sedikit orang yang mampu memanfaatkan peluang itu. Terkadang kita melihat ada peluang, namun memiliki keterbatasan, misal keterbatasan modal, keterbatasan keahlian dan lain-lain. Itulah gunanya bermasyarakat, adanya berinteraksi, bersosialisasi, dan bertolong-menolong. Dengan bekerja sama tentu akan  menghasilkan yang positif sesuai target dan keinginan bersama. Asah terus kemampuan untuk melihat peluang.
5. Berkumpul dengan orang yang bermotivasi.
Prinsip ini sama dengan istilah penjual minyak wangi akan berbau wangi dengan sendirinya.
6. Selalu dekatkan diri pada Allah.
Adakalanya dalam berusaha mengalami pasang surut. Hambatan dan rintangan dalam melangkah. Pastikan pada diri sendiri bahwa semua itu ada hikmahnya. Mungkin sajakan itu adalah cara Allah untuk mendidik kita. Kita tidak akan dididik seperti di bangku sekolah, tapi kita dididik melalui peristiwa-peristiwa. Kita akan mendapatkan pelajaran dari universitas yang skalanya lebih besar. yaitu universitas kehidupan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat memberi manfaat kepada orang lain.  Semoga Allah mengijinkannya.. Amin..
Tidaklah sesuatu berubah jika tidak mulai bertindak, dan kapankah waktu yang paling sesuai untuk memulainya jika bukan saat ini.

Obat Luka Tradisional

Sarang Telur Laba-Laba Cukup Ampuh Untuk Jadi Penutup Luka

Plester luka, perban serta bahan obat seperti salep ternyata masih kurang efektif. Cara tradisional seperti penggunaan sarang telur laba-laba terbukti lewat penelitian lebih efektif.
Hal tersebut diungkapkan dalam penelitian Rezza Putri Mahartika, Fauzizah Fatma Ningrum dan Erissa Hanifah, siswi-siswi MTs Negeri Kediri II Jawa Timur, salah satu finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja Ke-42 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
http://static.howstuffworks.com/gif/willow/spider-info1.gif
“Terpikir meneliti ini (sarang telur laba-laba) karena nenek saya sering menggunakannya kalau saya luka ketika kecil,” ujar Rezza yang dahulu tak mengerti bahwa yang digunakan neneknya adalah sarang telur laba-laba.
Ia dahulu hanya mendeskripsikannya sebagai kotoran berwarna putih seperti kapas. Lewat penelitian ini, ia hendak membuktikan secara ilmiah tentang manfaat dari sarang telur laba-laba itu.
Rezza bersama kawan-kawannya memulai penelitiannya di sekolah dengan mengujicobakan penggunaan sarang telur laba-laba untuk menutup luka pada mencit.
Ia membuat sayatan pada beberapa mencit dengan pisau cukur untuk membuat luka, kemudian menutupnya dengan sarang telur laba-laba tersebut. Ia mengontrol luka setiap harinya untuk mengetahui apakah luka sudah mengering dan menutup.
“Dari hasilnya, luka sudah bisa mengering dan menutup pada hari ke 5. Sementara penggunaan salep, plester, lukanya masih basah pada hari kelima tersebut,” jelas Rezza. Luka yang telah mengering dan menutup bisa dilihat dari tumbuhnya jaringan di permukaan kulit yang disebut epidermis.
Penasaran dengan hasil uji coba itu, Rezza dan timnya kemudian membawa sampel sarang telur laba-laba ke Pusat Penelitian lmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang.
Ia melakukan analisis tentang ciri-ciri sarang telur laba-laba tersebut sehingga bisa mengetahui karakter penyusun bahannya yang mendukung proses penutupan luka.
http://dsc.discovery.com/news/2006/10/04/gallery/brownwidow_zoom.jpg
“Hasil analisa polimer menunjukkan bahwa polimer berbentuk kristal. sementara jenis polimernya adalah protein,” jelas Rezza.
Menurutnya, polimer yang berbentuk kristal bisa berinteraksi dengan darah sehingga mendukung proses pembekuan. Sementara itu, bahan protein yang terkandung  dalam sarang laba-laba memiliki peran untuk membantu proses pembenkuan darah.
Manfaat bahan sarang telur laba-laba juga terbukti dari ukuran serat fiber penyusunnya. “Serat fibernya berukuran 200 hingga 500 nanometer. Kalau ukuran serat fiber kurang dari 500 nanometer, maka fiber tersebut baik untuk kepentingan medis,” terang Rezza.
Ditanya tentang kemungkinan sarang telur laba-laba menjadi produk komersial, Rezza mengatakan, “Masih perlu penelitian lebih lanjut.” Namun, ia menjelaskan bahwa sarang telur laba-laba ini sangat baik untuk menutup luka sebab mengandung bahan anti mikroba sehingga bisa mencegah infeksi.

Senin, 08 November 2010

PEMBENTUKAN KELUARGA QUR’ANI

PEMBENTUKAN KELUARGA QUR’ANI

A. Kriteria Keluarga Qur’ani
Sesuai dengan istilah-istilah baik langsung maupun tidak langsung yang mengandung makna keluarga, maka indikasi dan kriteria sebuah keluarga Qur’ani dapat dilihat dari aspek yaitu, proses pembentukan, pembinaan keluarga dan dari fungsi sebuah keluarga:
1. Proses pembentukan
Pembentukan rumah tangga Qur’ani berazaskan pada sendi-sendi agama bukan karena materi, kecantikan dan keturunan belaka. Dengan demikian karena berangkat (niat awal) dari nilai-nilai keagamaan maka semua aktivitas dalam keluarga standarisasinya adalah agama (nas) dan Allah melarang pernikahan yang dilakukan dengan orang yang tidak seaqidah. Batasan tersebut karena pernikahan bukan hanya “ikatan kontrak” dengan sesama manusia melainkan melibatkan Allah. Pernikahan dengan alasan selain agama tidak akan mencapai kesempurnaan dan bahkan tidak sah (batil).
Keluarga Qur’ani tidak mungkin terwujud bila kontradiksi dengan konsep yang al-Qur’an, yaitu keimanan. Maka rumah tangga yang dibangun dengan pondasi lain agama pernikahan tersebut batil dan batal demi nash. Mengingat berumah tangga atau berkeluarga adalah ibadah maka aturan mainnya harus mengacu pada apa yang telah ditentukan Allah dalam al-Qur’an. Konsep ini dalam kajian pernikahan termasuk dalam pembahasan kafa’ah. Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal.[1]
Al-Qur’an terdapat ketentuan yang mengatur masalah kafa’ah (lihat surat Al-Hujuraat : 13). Kemudian dalam surat An-Nur Allah Swt berfirman:
الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 3).

Selanjutnya masih dalam surat An-Nur Allah SWT berfirman:
الخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات أولئك مبرءون مما يقولون لهم مغفرة ورزق كريم

Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula. Mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu. Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia. (QS. An-Nur : 26).

Panduan dalam kalam Allah tersebut jelas bahwa kafa’at menyangkut keimanan (aqidah) adalah suatu keharusan. Demikian juga pada acara ijab dan qabul diharuskan menggunakan kata “zawaj” atau “nikah” ini memberikan pemahaman dan konsekwensi hukum yang dalam dan luhur. Dengan istilah tersebut melahirkan tanggung jawab, hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pihak (isteri dan suami).
2. Pembinaan Keluarga Qur’ani
Dalam menjalani kehidupan berumah tangga dibutuhkan berbagai ilmu, rasa (perasaan) dan asa (pembinaan dan pendidikan). Hal ini mengingat menikah menyatukan dua insan yang berlainan jenis, karakter dan latar belakang keluarga yang berbeda. Untuk membinanya perlu persamaan persepsi, visi dan misi. Konsep dan konstruksi suatu rumah tangga Qur’ani pada akhirnya adalah menggapai ridha Ilahi. Untuk sampai pada tujuan tersebut maka semua insan rumah tangga satu langkah seayunan dan menguatkan azam (niat) hanya pada Allah. Karena iklim keluarga yang sehat atau perhatian orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis anak.[2]
Taklif pembinaan keluarga tertumpu pada pemimpin (suami/ayah). Pembinaan dan pendidikan pada anggota keluarga mencakup aspek sosial, ekonomi biologis dan psikologis. Kandungan unsur tersebut diambil dari makna yang tercakup pada lafadz al-ahl, raht, rukn dan fashilah dengan terpenuhinya hal tersebut akan bermuara pada ketentraman (sakinah) sebagai tujuan keluarga. Oleh karena itu para pemuda yang belum memiliki ba’ah (kesanggupan baik jasmani maupun rohani) dianjurkan untuk menahan diri (berpuasa).
Quraish Shihab dalam tafsirnya, melihat ayat 21 surat ar-Rum (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya) dengan memberikan penjalasan bahwa kesempurnaan makhluk hidup apabila telah bergabung dan bersama antara laki-laki dan perempuan. Karena masing-masing dengan eksistensi, potensi dan berbagai kegoncangan jiwa dan kekacauan pikiran karena pengaruh dorongan hawa nafsu dan libido seksual.[3] Sedangkan al-Maraghi menyebutkan bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang yang berakal agar mereka menggali dan mencari hikmah di balik itu.[4]
Demikian juga Ibnu Kasir menafsirkan ayat 21 surat ar-Rum dengan mengatakan bahwa diantara rahmat yang paling sempurna yang dianugerahkan pada umat manusia adalah menjadikan pasangan lawan jenis dari mereka sendiri, dan menjadikan rasa kasih sayang diantara mereka. Karena adakalanya rasa cinta atau sayang kepadanya atau karena mempunyai anak darinya, atau sebaliknya perempuan memerlukan perlindungan dari si laki-laki atau memerlukan nafkah dan atau keduanya saling menyukai dan alasan lainnya.[5]
Berjalannya hak dan kewajiban dengan baik, maka anggota keluarga merasakan ketenangan dan ketentraman (sakinah). Mereka merasa terhindar untuk melakukan keburukan bahkan tumbuh rasa cinta kasih luhur (bersendi agama) serta satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan (mawaddah). Kondisi psikologis dimana individu tidak akan sanggup menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidup dengan sendiri, perlu bantuan dan intervensi orang lain sehingga kedamaian hati lahir dari sentuhan kasih sayang pasangannya (rahmah).
3. Fungsi keluarga
Fungsi keluarga ini dapat dikemukakan bahwa secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai: [6]
Memberi rasa aman bagi anak dan angota keluarga lainnya,
Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis,
Sumber kasih sayang dan penerimaan,
Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik,
Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat,
Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan,
Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,
Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat,
Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, dan
Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.

Berdasarkan kutipan tersebut di atas maka setiap orang tua harus mengetahui dan sadar akan fungsi dan peranan sebuah rumah tangga bagi anak. Tanpa adanya kesadaran pemahaman yang tinggi dengan disertai kesadaran untuk implementasi maka dikhawatirkan anak-anak akan tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa dan pembentukan karakrteristiknya. Setiap orang tua selalu dan ingin generasi penerusnya menjadi orang yang berguna (akhlak mulia) dan tumbuh sempurna, namun untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut mengalami variasi dan silang pendapat bahkan kontra teori dan metode. Paradigma dan kontroversial tersebut adalah wajar karena latar belakang baik keilmuan maupun sosio kultur budaya yang berbeda.
Unsur untuk menetralisir dan mencari alternatif jalan tengah adalah dengan mengembalikan pada konsep dasar yang diwahyukan Allah, baik melalui kalam-Nya maupun melalui lisan Rasulullah. Hal ini karena kemampuan daya nalar manusia sangat terbatas dan sekali-kali tidak akan mampu mencapai suatu kebenaran yang hakiki sebagaimana dimaksudkan Syara’.[7]
Di antara tuntunan (hidayah) al-Qur’an yang menggambarkan eksistensi keluarga adalah sebagaimana diungkapkan oleh Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal yaitu; sebagai pemenuhan hasrat seksual, menggapai ketenangan jiwa, memenuhi tuntutan keturunan, mendidik anak, mewujudkan kohesi sosial dan dapat mengantisipasi masyarakat dari keterpurukan.[8]
Ali Yusuf as-Subky, dengan gaya dan redaksi bahasa yang berbeda merincikan bahwa fungsi keluarga adalah; melahirkan keturunan (QS. Al-Anbiya’: 89-90, Ibrahim: 39, al-Hujurat 13), melindungi diri dari setan (QS. Al-Isra’: 32, an-Nur: 30-32), bersama menanggung beban hidup (QS. Ar-Rum: 21, al-Maidah: 2), menenangkan jiwa dan menjinakkannya dengan kebersamaan (QS. Al-A’raf: 189, ar-Rum: 21, al-Baqarah: 187, 223, an-Nahl: 80), memenuhi hak-hak anggota keluarga dan pemindahan kepemilikan harta waris (QS. An-Nisa’: 32, al-An’am: 98).[9]
Sebagai contoh salah satu ayat yang menjadi pilar bahawa rumah tangga menjadi sentral untuk memupuk dan menyuburkan rasa kebersamaan dalam menanggung jerih payahnya kehidupan adalah sebagaimana terungkap dalam surat al-Maidah ayat 2:
...وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب (المائدة:2)

Artinya: …Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS. Al-Maidah: 2).
Ayat tersebut menurut Departemen Agama dalam tafsirnya Allah memerintahkan kepada setiap kaum muslimin supaya memenuhi janji yang sudah diikrarkan baik kepada Allah maupun kepada kaum muslimin kecuali janji melanggar syari’at Islam. Selain itu juga wajib kepada kaum muslimin untuk saling bertolong bantu dalam hal kebajikan.[10] Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan permasalahan keluarga (rumah tangga) melainkan berkaitan dengan peristiwa yang terjadi antara kaum msulimin dengan kaum musyrikin yang hendak memasuki kota Mekah pada bulan haji dimana kaum muslimin juga hendak melaksanakan haji.[11]
Ahmad Musthafa al-Maraghi memberikan penjelasan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa perintah tolong menolong dalam Islam adalah termasuk pokok-pokok petunjuk sosial dalam al-Qur’an. Untuk itu diperintahkan kepada kaum muslimin agar saling bertolong bantu dalam kebajikan dan apa saja yang bermanfaat bagi umat manusia baik pribadi maupun kelompok, baik dalam perkara dunia maupun agama juga dalam perbuatan takwa yang dengan itu mereka mencegah terjadinya kerusakan dan bahaya yang mengancam keselamatan mereka. Pada awal Islam rasa solidaritas sangat tinggi dengan tanpa perikatan dan perjanjian dan organisasi, pada waktu itu mereka hanya diikat dengan hanya janji dan sumpah Allah saja.[12] Perintah kepada tolong menolong dalam kebajikan dan takwa tersebut adalah suatu kewajiban dan barang siapa yang meninggalkan adalah dosa.[13]
Paparan tersebut memberikan ilustrasi bahwa ikatan perkawinan adalah salah satu sarana untuk memperkuat jalinan dan tidak ada alasan untuk tidak saling tolong menolong apalagi dengan sesama keluarga yang dijalin dengan landasan agama. Kewajiban tersebut tertaklif pada setiap muslim dengan mengacu pada ayat tersebut dengan alasan meninggikan ajaran Allah dan menegakkan kebajikan di muka bumi ini.
Berdasarkan pengkajian dari paparan dan beberapa surat serta ayat tersebut jelaslah bahwa keluarga adalah salah satu jalan untuk mencapai kemuliaan dan jalan yang mulia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan bahasa lain keluarga merupakan sarana untuk penyaluran hasrat biologis yang sah sebagai jalan untuk mempererat kasih sayang dan mendapatkan keturunan. Kebersamaan dalam keluarga dapat juga menjadi kekuatan baru untuk menghadapi berbagai problema kehidupan serta tempat membina genesari penerus. Lembaga keluarga selain sebagai madrasah awal bagi anak-anak juga sebagai lembaga da’wah dan sosial yang pada akhirnya terakumulasi masyarakat yang Qur’ani.

B. Pendidikan Keluarga Qur’ani
Dalam perspektif Islam, terdapat tiga term yang sangat erat berhubungan dengan makna pendidikan ini. Pertama Ta’lim, berasal dari ‘allama yang berarti mengajarkan. Atau sekedar memberitahu atau memberi pengetahuan.[14] Kedua, Tarbiyah, mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik, termasuk di dalam makna mengajar atau ‘alam. Dari makna ini pendidikan dirumuskan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh dan akal) secara maksimal agar dapat manjadi bekal dalam menghadapi kehidupan dalam masa depan.[15] Ketiga, ta’dib dari kata addaba yang mengandung makna ta’lim dan tarbiyah. Dalam pengertian pendidikan dirumuskan sebagai upaya membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkahlaku secara profesional dan cocok dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya.[16]
Pendidikan Islam dirumuskan sebagai usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai mahluk sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan serta potensi spiritual yang yang dimiliki masing-masing secara maksimal.[17] Dalam pengertian ini memuat pentahapan dan metode sesuai dengan sasaran subyek didik. Termasuk dalam sasaran pendidikan di sini adalah pendidikan di dalam keluarga, yang dilakukan oleh dan untuk anggota keluarga.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, “Pendidikan Islam” harus mendasarkan pada makna “Islam” itu sendiri. Menurutnya agama Islam meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlaqul karimah) atas dasar iman kepada Allah dan tanggungjawab pribadi di hari kemudian.[18]
Karena itulah pendidikan Islam tidak terbatas hanya kepada “pengajaran“ tentang ritus-ritus dan segi-segi formalistik agama. Meski ini penting, namun ritus dan formalitas yang dalam hal ini terutama terwujud dalam rukun Islam baru akan mempunyai makna yang hakiki jika mengantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuan yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarub) kepada Allah dan kebaikan sesama manusia (akhlaqul karimah).[19] Maka ruang lingkup pendidikan Islam berkisar pada dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi (ketuhanan) dan pengembangan rasa kemanusiaan kapada sesama sebagai dimensi kemanusiaan.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu dan sudut pandang masyarakat. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi-potensi individu yang terpendam dan tersembunyi. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat, pendidikan merupakan usaha mewariskan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan.[20] Dengan begitu di dalam pendidikan terdapat upaya untuk melakukan perubahaan prilaku.
Di dalam Al-Qur’an perubahaan semacam ini harus dilakukan oleh diri sendiri baik dalam perspektif individu maupun sosial. Allah berfirman:
...إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم ... (الرعد: 11)

Artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (QS. Ar-Ra’du: 11)
Dalam konteks perubahan perilaku ini apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di dalam menyampaikan dakwah risalah-Nya juga termasuk kegiatan pendidikan. Ciri utamanya adalah perubahaan sikap dan tingkah laku sesuai petunjuk ajaran Islam. Dalam kaitan upaya merubah sikap dan tingkah laku ini secara umum pendidikan bertujuan membentuk kepribadian sectoring yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rahani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT.[21]
Pendidikan dan pembinaan keluarga dalam perspektif al-Qur’an secara universal banyak disinggung dalam al-Qur’an. Dengan bahasa lain bahwa landasan pendidikan dalam Islam mengacu pada nas (al-Qur’an dan al-Hadits). Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an adalah landasan utama setiap aktivitas umat Islam, aturannya mencakup semua aspek hidup dan kehidupan dan bersifat universal. Demikian juga terhadap permasalahan pendidikan, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berindikasi kepadanya, diantaranya adalah Surat Luqman ayat 13-14:
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم . ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير (لقمن: 13-14)

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S. Luqman: 13-14)

Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan melihat kata ya’idzuhu yaitu suatu kalimat yang bijak menyentuh hati dengan tidak membentak atau menyakiti sebagaimana dipahami panggilan mesra kepada anak.[22] Ini memberikan isyarat bahwa pendidikan hendaknya dengan persuatif dan menyentuh sehingga peserta didik (anak-anak) tidak merasa tersakiti. Demikian juga Ibnu Kasir yang mengatakan bahwa Lukman adalah orang yang diberikan hikmah dimana Lukman memberikan nasihat kepada buah hatinya yang dikasihinya dengan tidak menyimpang dari aqidah yang dianutnya.[23]
Tujuan atau orientasi pendidikan Islam adalah pemahaman dan internalisasi nilai sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 187:
وإذ أخذ الله ميثاق الذين أوتوا الكتاب لتبيننه للناس ولا تكتمونه فنبذوه وراء ظهورهم واشتروا به ثمنا قليلا فبئس ما يشترون (ال عمران: 187)

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (Q.S. Ali Imran: 187)

Selain itu, juga salah satu tujuan lain dari pendidikan adalah menjaga diri dan segenap anggota keluarga dari siksa Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
ياأيها الذين ءامنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون)التحريم: 6)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)

Berdasarkan ayat tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang wajib memelihara diri dan keluarganya ke jalan yang benar supaya semua anggota keluarga terhindar dari api neraka. Oleh sebab itu, pendidikan dari sebuah keluarga itu merupakan suatu yang sangat urgen dan mutlak diperlukan sehingga syari’at Islam terinternalisasi dalam keluarga. Dengan demikian keluarga Islami yang terdiri dari pribadi-pribadi yang Islami dapat terwujud.
Sumber ayat lain yang dapat dijadikan rujukan di antaranya dapat dilihat: Q.s. al-Nahl:78,
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون (النحل: 78)

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).
Ayat tersebut di atas mengandung pengertian proses belajar itu dimulai sejak lahir, di mana Allah menganugerahkan kepada setiap anak yang baru lahir dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Kesemuanya ini memungkinkan anak (manusia) untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui belajar. Al-Qur’an surat al-Mu’min: 67
هو الذي خلقكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم يخرجكم طفلا ثم لتبلغوا أشدكم ثم لتكونوا شيوخا ومنكم من يتوفى من قبل ولتبلغوا أجلا مسمى ولعلكم تعقلون (المؤمن:67)

Artinya: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).

Dan dalam QS. al-Hajj: 5, yang selanjutnya sejalan dengan isi kandungan dalam Q.s. al-Nahl: 78.
ياأيها الناس إن كنتم في ريب من البعث فإنا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم ونقر في الأرحام ما نشاء إلى أجل مسمى ثم نخرجكم طفلا ثم لتبلغوا أشدكم ومنكم من يتوفى ومنكم من يرد إلى أرذل العمر لكيلا يعلم من بعد علم شيئا وترى الأرض هامدة فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج (الحج: 5)

Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah ( QS. Ah-Hajj: 5).

Landasan nas tersebut jelaslah bahwa pendidikan atau belajar adalah suatu kebutuhan manusia agar menjadi insan psripurna. Setiap manusia baru dilahirkan tidak diberikan pengetahuan sesuatu, kemudian bertahap sesuai dengan perkembangan fisiknya mereka menimba pengetahuan dari orang tua dan guru serta masyarakat sekelilingnya. Anugerah ilmu tersebut hendaknya membawa manusia sadar bahwa hidup pada hakikatnya adalah amanah untuk beribadah kepada Allah.
Landasan naqli (nash) al-Qur’an tersebut barulah sebagian kecil indikasi dan sinyalemen tentang urgensitas sebuah pendidikan dalam keluarga. Nukilan tersebut hanya sebagai dalil dan bukti konkrit bahwa al-Qur’an dengan jelas membicarakan masalah tersebut.
Adapun landasan al-Hadits di antaranya adalah:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه إبن ماجه)

Artinya: Dari Anas bin Malik Ra. Berkata, Rasulullah Saw. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan muslimat” (H.r. Ibn Majah).[24]
Sesuai dengan hadits di atas bahwa menuntut ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin dan muslimat secara kontinuitas, sebagai amanah Allah yang telah diwajibkan kepada mereka. Kewajiban belajar tersebut berimplikasi pada adanya suatu lembaga yang dapat mengimplementasikan perintah tersebut. Maka kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan formula di rumah tangga di-taklif-kan atas orang tua sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه (رواه البخارى) [25]
Artinya: “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).
Hadits tersebut di atas menunjukkan orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidik anak dan keluarga, sebab kedua orang tuanya yang akan mewarnai anaknya dengan Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dominasi peran orang tua dalam pendidikan anak merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, maka konsekwensinya adalah anak sebagai hamba lemah selalu membutuhkan orang dewasa untuk mendidik dan membimbingnya ke arah kedewasaan dan intelektualitas. Dengan bahasa lain lingkungan keluarga mendominasi perubahan prinsip, sikap dan sifat anak, maka jika lingkungan keluarga baik otomatis potensi kebaikan yang ada pada diri anak akan terus berkembang demikian juga sebaliknya.
Kewajiban belajar juga dapat dipahami melalui penelaahan hadits sebagai berikut:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى و مسلم)

Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari, Muslim)[26]
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran harus diberdayakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kedua orang tuanya. Taklif yang dipikulkan kepada laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) berupa tanggung jawab atas keselamatan diri, anak, harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang diamanahkan kepadanya. Tanggung jawab tersebut juga meliputi kesehatan, kesejahteraan fisik, mental moral serta kebahagiaan yang bersifat ukhrawi.[27] Mencermati ayat-ayat maupun hadits di atas, dapat diketahui bahwa konsep belajar sejak dari rumah tangga dalam perspektif Islam telah dicanangkan bersamaan dengan tugas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah.
Proses pendidikan Islam memiliki tugas pokok untuk membentuk kepribadian Islam dalam diri manusia selaku makhluk individual dan sosial. Untuk tujuan ini, proses pendidikan Islam memerlukan sistem pendekatan yang secara strategis dapat dipertanggung jawabkan dari segi pedagogis. Dalam hubungan inilah, pendidikan Islam memerlukan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan tugasnya termasuk sistem pendekatannya. Jalannya proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan dasar pendidikan agama yaitu Al-Qur’an dan hadist serta ijma’ ulama, yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan sebagaimana yang telah digariskan.
Tujuan mempelajari pendidikan Islam secara lebih luas dipaparkan oleh K. Sukarji, sebagai berikut:
Tujuan pendidikan Islam untuk mendidik anak-anak supaya menjadi seorang mukmin dan muslim sejati beramal saleh dan berakhlak karimah. Sehingga ia dapat menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup dengan kemampuannya, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah air serta berbuat baik sesama umat manusia.[28]

Dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam dapat mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah SWT, yang sangat sempurna, karena sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 30, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Isi ajaran Islam mengandung peraturan-peraturan yang kongkrit, yang memiliki fleksibelitas/ elastisitas maka akan selalu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zaman. Terbentuknya kepribadian muslim atau terwujudnya masyarakat yang baik merupakan tujuan dan tugas dari pada pendidik agama yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadits. Namun sebelum belajar secara formal di sekolah, anak-anak terlebih dahulu telah ditanamkan pada dirinya beberapa sikap dasar dari lingkungan keluarganya, maka antara internalisasi nilai di sekolah harus terjadi singkronisasi dengan keluarga dan masyarakat dimana anak-anak menjalani hidup.
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam, di dalamnya terkandung nilai-nilai pandangan Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Arifin bahwa :
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya, mengandung di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan masing-masing yang harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilanya.[29]

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama, diantaranya adalah penentuan akhlak mulia, mencapai kehidupan dunia dan akhirat serta menumbuhkan jiwa ilmiah yang bernafaskan Islam. Dengan demikian pendidikan agama adalah proses untuk penumbuh kembangan kepribadian muslim pada manusia. Kepribadian tersebut yaitu segala tindakan dan aktivitas yang dilakukan manusia setelah mengalami proses pendidikan agama, sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Lebih spesifik lagi, Zakiah Daradjat mengemukakan tujuan pendidikan agama dalam lingkungan keluarga adalah “membentuk insan kamil dengan pola taqwa yaitu manusia yang utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT”.[30] Sedangkan dalam perspektif Oemar Muhammad At-Toumy al-Syaibani adalah bertujuan sebagai “persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat”.[31]
Melihat urgensitas pendidikan agama bagi para generasi penerus, maka pendidikan sejak dini yang dimulai dari lingkungan keluarga adalah suatu keharusan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nashih Ulwah bahwa “di dalam keluarga anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam lingkungan keluarga ini merupakan penting atau utama terhadap perkembangan pribadi anak.”[32] Agama telah memberikan kaidah-kaidah yang menjadi rujukan dalam rangka mengembangkan “waladun shalihun” (anak yang shaleh).
Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Para anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang sehat, yakin mereka akan terhindar dari beban-beban psikologis dan mampu menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta berpartisipasi aktif dalam memberikan kontribusi secara konstruktif terhadp kemajuan atau kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ilmiah membuktikan: (1) remaja yang komitmen agamanya lemah mempuyai risiko yang lebih tinggi (4 kali) untuk terlibat penyalahgunaan NAZA apabila dibandingkan dengan remaja yang komitmen agamanya kuat, (2) anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius, risiko untuk terlibat penyalahgunaan NAZA jauh lebih besar dari anak yang dibesarkan dalam keluarga religius.[33]
Berdasarkan kutipan dan diskripsi tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa anak adalah anugerah sekaligus amanah yang harus disyukuri dan diemban amanahnya. Di antara konsekwensinya adalah membina, mendidik, membimbingnya hingga pada taraf kesempurnaan antara jasmani dan rohaninya, membawa dan mengarahkan anak untuk menjadi ‘abid (hamba) dan khalifah Allah di muka bumi ini. Maka untuk mensukseskan kedua tugas tersebut harus dibekali Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS) serta Iman dan Taqwa (IMTAQ) yang harus dimulai dari rumah tangga.

C. Kepemimpinan Keluarga Qur’ani
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa rumah tangga adalah sebuah rumpun yang terdiri dari beberapa person yang masing-masing memiliki kedudukan dan tanggung jawab. Sistem yang berlaku dalam suatu rumah tangga akan mempengaruhi keberhasilan dalam menggapai sebuah tujuan bersama. Suami atau ayah dalam konsep Islam adalah sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam mengkondisikan rumah tangga, dengan bahasa lain ia adalah sebagai manajer atau pemimpin.
Sebagai pemimpin suami dituntut memiliki kemampuan baik ilmu, iman maupun amal yang lebih sehingga segala gerak dan tingkah lakunya dapat dilihat dan menjadi contoh tauladan bagi anggota yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan berwibawa dan ditaati bila ada kesatuan antara hati, lisan dan arkan (amal)nya. Laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah tangga telah menjadi sunnatullah, dan seorang isteri ditugaskan untuk berperan sebagai penumbuh rasa percaya diri dan meringankan beban pekerjaan yang tengah dipikul oleh suaminya. Qudrat tersebut karena Allah telah menciptakan kaum laki-laki memiliki potensi kelebihan sebagai pemimpin dibandingkan dengan perempuan sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisa; ayat 34:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: 34)

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Departemen Agama dalam menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum wanita yang menjadi isterinya dan yang menjadi keluarganya. Oleh karenanya wanita wajib mentaati suaminya. Dan apabila suami melalaikan tugas dan kewajibannya isteri berhak mengadukannya ke pengadilan yang bewenang menyelesaikannya.[34]
Senada dengan tersebut Quraish Shihab menjelaskan bahwa, kaum laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab kaum wanita karena Allah telah melebihkan baik fisik penafkahan kepada isteri dan anak-anak serta kewajiban memberi mahar. Maka wanita shalihah adalah senantiasa taat kepada Allah dan suaminya selama tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi isterinya.[35]
Lebih lanjut Qurash Shihab menjelaskan bahwa dirinya tidak sependapat dengan bahwa ungkapan “lelaki” dalam ayat tersebut adalah semua dan bersifat umum kaum laki-laki. Namun ayat tersebut merupakan spesifikasi terhadap kehidupan dalam rumah tangga karena melihat alur bahasan baik sebelum maupun sesudahnya.[36]
Ibnu Katsir melihat ayat ini secara tekstual kandungannya adalah laki-laki sebagai pemimpin, kepalanya, pengurus, yang menguasai dan mendidiknya jika menyimpang.[37] Sedangkan kelebihakn kaum laki-laki atas kaum perempuan Ibnu Katsir sependapat dengan mufasir lainnya (yang penulis sebutkan sebelumnya).
Berbedahalnya dengan al-Maraghi yang menafsirkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin, pelindung dan pemelihara kaum wanita. Sebagai konsekwensi tugas ini maka laki-laki diwajibkan berperang karena ini perkara perlindungan yang paing khusus dan kaum laki-laki mendapat bagian harta warisan lebih banyak karena ia berkewajiban memberi nafkah kepada wanita. Hal ini karena Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum perempuan dari kejadian dan kekuasaan serta memberi mahar.[38]
Berdasarkan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa kaum laki-laki adalah sebagai pemimpin bagi kaum wanita, di samping itu juga Allah memberikan pelajaran tentang konsep pendidikan dalam rumah tangga. Di samping itu juga Allah menempatkan banyak hikmah mengapa kaum laki-laki dipilih menjadi pemimpin, kondisi dan misteri tersebut harus disikapi dengan arif dan bijaksana serta pentelaahan lebih mendalam.
Kelebihan baik fisik maupun mental selama ini menjadi alasan dasar mengapa Allah memilih kaum laki-laki sebagai Nabi, Rasul dan pemimpin. Kondisi alam yang kejam, keras dan penuh dengan tantangan dirasakan tidak cocok dihadapi oleh kaum wanita, maka mereka mendapat porsi tugas yang disesuaikan dengan fitrahnya. Sesungguhnya kepemimpinan dimaksud merupakan sebuah tanggung jawab. Artinya, kemampuan atas mengendalikan segala apa yang dipimpin dan mampu menanggung beban yang terberat sekalipun. Untuk itu, tanggung jawab di sini merupakan pembebanan dan bukan kehormatan. Yaitu, beban yang harus ditanggung oleh pihak yang mampu untuk tidak berbuat sewenang-wenang.
Tuntutan zaman dan slogan “Barat” untuk persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang mereka istilahkan dengan emansipasi/gender pada hakikatnya adalah malah justru merendahkan kaum wanita itu sendiri. Kenyataan ini karena Allah telah menempatkan posisi mereka sesuai dengan qodrat dan fitrah (potensi) mereka sebagaimana Allah senyalir dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
...ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم (البقرة: 228)

Artinya: …Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dengan demikian jelaslah bahwa kepemimpinan kaum laki-laki dalam rumah tangga adalah dalam rangka menunaikan taklif Allah yang diamanahkan. Sebagai pemimpin harus memiliki kompetensi baik ilmu maupun iman sehingga tidak menyimpang (zalim). Demikian juga harus mengadakan pencerahan atau memberikan peluang terhadap yang dipimpinnya. Rambu-rambu kehidupan baik dalam rumah tangga, sosial masyarakat maupun berbangsa dan bernegara mengharuskan setiap individu saling memahami, menghormati terhadap hak-hak orang lain.
Senada dengan itu, Rasulullah bersabda:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى)

Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari).[39]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumah tangga tersusun dari kepala rumah tangga dan para anggotanya. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Melalaikan kewajiban berarti menzalimi pihak lain. Dengan kata lain para pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai contoh teladan (uswatun hasanah) bagi yang dipimpinnya.
Maka “uswatun hasanah” dapat diartikan sebagai teladan yang baik lagi terpuji yang diikuti oleh orang banyak.[40] Adapun Prikan Burkey menyatakan bahwa uswatun hasanah adalah perbuatan nyata yang menyentuh dan merupakan pesan yang disampaikan melalui contoh perbuatan sebelum disampaikan melalui ucapan.[41] Mendahulukan contoh dalam menasehati atau mengajarkan sesutu lebih mudah diterima dan dipahami oleh orang lain, karena dapat diindrai secara langsung sehingga tidak sulit mengikutinya.
Jika diperhatikan, uswatun hasanah tidak semata memberikan contoh, akan tetapi juga harus memiliki daya tarik untuk diikuti oleh orang lain.[42] Jadi, dapat ditegaskan bahwa uswatun hasanah adalah kepribadian seseorang yang direfleksikan dalam sikap, ucapan, atau tindakan yang mulia sehingga mengundang perhatian orang lain untuk meneladaninya. Di dalam Al-Qur′an terdapat 3 tempat yang secara jelas menggunakan lafazh “uswatun hasanah”. Pertama, surat al-Ahzab ayat 21
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة...
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu, suri tauladan... yang baik.
Kedua, surat al-Mumtahanah ayat 4 yang berbunyi,
قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه

Artinya: Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang beriman dengan dia.
Ketiga, Firman Allah surat al-Mumtahanah ayat 6, yakni
لقد كان لكم فيهم أسوة حسنة
Artinya: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan Ummatnya) ada teladan yang baik bagimu).
Menurut penafsiran al-Tusi, yang dimaksud dengan posisi Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah adalah teladan yang baik dalam berbagai aspeknya, baik itu perkataannya atau perbuatannya. Ketika kamu sekalian mencontohnya, maka hal itu dikatakan baik.[43] Uswatun hasanah adalah pendidikan dengan memberikan contoh yang baik kepada para peserta didik dalam ucapan maupun perbuatan.[44]
Contoh atau teladan yang baik tidak bersifat parsial (setengah-setengah atau sebagian), tetapi mencakup semua aspek kehidupan. Uswatun hasanah merupakan realitas kehidupan yang dapat diinderai yang menyeru kepada pelaksanaan sebelum pengucapan dan sebagai contoh perbuatan yang baik sehingga mampu mempengaruhi perilaku anak dalam proses pembentukan kepribadiannya. Dengan kata lain, uswatun hasanah merupakan kunci utama dalam proses transfer nilai (value).
Mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan cukup mudah bagi pendidik, akan tetapi amat sulit bagi anak untuk melaksanakannya, jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa orang yang mengajarinya melakukan praktek yang berbeda. Sebab sikap seperti itu menjadikan usaha yang dilakukan sia-sia belaka dan kebencian yang amat besar di sisi Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam Surat Al-Saff, 2-3.
ياأيها الذين ءامنوا لم تقولون ما لا تفعلون(2)كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون(3)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”
Dalam hubungan ini, Andewi mengutip pemikiran al-Ghazali yang menyatakan bahwa, pendidik hendaknya mengamalkan ilmunya, perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, sebab ilmu dapat dilihat dengan mata kepala dan orang yang mempunyai mata kepala lebih banyak. Jika amal bertentangan dengan ilmu, maka bimbingan tidak berjalan.[45] Perhatikan pula perkataan seorang penyair al-Daudi dalam sebuah baitnya “Janganlah Anda melarang mengerjakan sesuatu, tapi anda sendiri mengerjakan perbuatan yang serupa. Sungguh hal itu merupakan aib besar atasmu jika Anda mengerjakan yang demikian itu”.[46]
Dengan demikian maka keluarga sebagaimana hidayah (petunjuk) al-Qur’an adalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah, maka semua hal yang menyangkut rumah tangga harus senantiasa merujuk pada konsep yang telah ditetapkan oleh syara’. Demikian juga dengan pembinaan anak-anak hendaknya bukan hanya memberikan pemahaman tentang Islam tetapi menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam khususnya isi kandungan al-Qur’an.
[1]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. II, (Jakarta: Lentera, 1996), hal. 349.
[2]Baihaqi A.K., Pendidikan Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islami, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hal. 38.
[3]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hal. 34-35.
[4]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal. 68-69.
[5]Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru algesindo,2004), hal. 87.
[6] Kartini Kartono, Hygiene Mental, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 76.
[7]Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. IV, (Bandung: Pustaka, 2000), hal. 140 – 145.
[8]Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani; Panduan Untuk Wanita Muslimah, terj. Karman As’ad Irsyady, (Jakarta: Amzah, 2005), hal. 16-29.
[9]Ali Yusuf as-Subky, Membangun Surga dalam Keluarga, terj. Fatkhurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2005), hal. 20-30.
[10]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: UII, 1995), hal. 385-386.
[11]Quraish Shihab, Tafsir…, Volume. 3, hal. 10-11
[12]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir..., Jilid. 6, hal. 86-87.
[13]Ibnu Kasir, Tafsir..., 175
[14]Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 27.
[15]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2001), hal. 70.
[16]Ibid., hal. 71.
[17]Ibid., hal. 75.
[18]Nurcholis Madjid, dalam Pengantar Malik Fadjar, Reorientasi…, hal. vii
[19]Malik Fadjar, Reorientasi…, hal. 2 – 3.
[20]Hasan Langgulung, Asaz-asaz Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), hal. 3
[21]Zakiah Darajat, dkk, Ilmu …, hal. 29. lihat juga A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 34.
[22]Quraish Shihab, Tafsir..., hal. 127.
[23]Ibnu Kasir, Tafsir… , hal. 175. lihat juga Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir…, hal. 152.
[24]Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.
[25]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 458.
[26] Ibid., hal. 452.
[27]Lihat Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 26
[28]K. Sukarji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama, (Jakarta: Indra Jaya, 1970), hal. 21.
[29]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 222.
[30]Zakiah Daradjat, Ilmu ..., hal. 29.
[31]Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 86.
[32]Nashih Ulwah, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asyifa’, 1990), hal. 2.
[33]Zakiah Daradjat, Problem Remaja di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 39-42.
[34]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. II, (Jakarta: UII Press1995), hal. 169.
[35] Quraish Shihab, Tafsir..., Jilid 2, hal. 402
[36]Ibid., hal. 403-406.
[37] Ibnu Kasir, Tafsir… , Jilid 5, hal. 103
[38] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir..., Jilid. 5, hal. 41.
[39] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 452.
[40]Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 ) Juz 28, hal. 126-128.
[41]Prikan Burkey, al-Qudwah, (al-Maktabah al-Faishaliyah,tt), hal. 19
[42]Al-Raghib al-ashfahani, Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ) hal.12, lihat juga Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, (New Delhi: Cosmo Publications, 1982), hal. 657.
[43]Abu Ja′far Muhammad ibn Hasan al-Tusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur′an, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-′Arabi: tt), jilid 8, hal. 328.
[44] Syahidin, Metode Pendidikan Qur'ani, ( Jakarta: Misaka Baliza, 2001 ), hal. 156.
[45] Andewi Suhartini, Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual Vol III, (Jakarta: PPs UIN Syarif Hidayatullah, 2002), hal. 119.
[46]Omar Muhammad al-Taomi al-Saibani, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 613.