Entri Populer

Selasa, 02 November 2010

Sejarah Perkembangan dan Pra-Kodifikasi Hadits

Sejarah Perkembangan dan Pra-Kodifikasi Hadits

Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan Tulisan Utsmani (Khathth ‘Utsmani). Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke 3 Hijriyah. Penghimpunan dan pengodifikasian hadits mengalami proses perkembangan yang lamban, melibatkan banyak orang dari masa ke masa dan menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut.

A. Hadits Pada Masa Rasul SAW
Rasul SAW., membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktunya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan seperti ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.

1. Cara Rasul SAW Menyampaikan Hadits
Beberapa cara Rasul SAW menyampaikan hadits kepada sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul SAW., juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh Makkah.





2. Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits
Di antara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasasan hadits. Ada yang memiliki lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasul SAW. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari Rasul SAW., dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu antara lain:
a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam), seperti Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadits dari Rasul SAW., karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW., daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang di samping selalu dekat dengan Rasul SAW., juga menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul SAW., akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasul SAW., banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW., seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
Menurut catatan Adz-Dzahaby, ada 31 orang shahaby yang banyak meriwayatkan hadits di antaranya Aisyah, Ummu Salamah dan Khulafa’ Rasyidin.

Ajaj Al-Khathib menjelaskan, bahwa proses terjadinya hadits bisa jadi timbul dari berbagai sisi yakni ada 3 sisi:
1. Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan kemudian para sahabat sampaikan kepada sahabat lain.
2. Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu masalah kemudian bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali Hadits yang timbul disebabkan dari pertanyaan seorang sahabat, kemudian menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan syari’ah Islamiyah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat, kemudian mereka sampaikan kepada para tabi’in.

Menurut Ahmad Umar Hasyim (Ulama Al-Azhar Mesir) paling tidak ada 3 faktor penyebab perhatian para sahabat kepada hadits atau sunnah Rasul:
1. Nabi sebagai panutan yang baik (uswatun hasanah) bagi umat sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Ahzab (33): 21 yang artinya:
‘Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ’.
2. Kandungan beberapa ayat Alquran dan hadits Rasulullah yang menganjurkan mereka menuntut ilmu dan mengamalkannya sebagaimana Surah Al-‘Alaq (96) yang turun pertama kali ayat 1-5.
3. Kesiapan mereka secara fithrah Arab yang memiliki ingatan yang kuat untuk mengingat segala hal yang terjadi pada Rasulullah.

3. Menghafal dan Menulis Hadits
a. Menghafal Hadits
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan al-Qur’an dan Hadist, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW., menempuh jalan yang berbeda. Terhadap al-Qur’an ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis di samping dihafal. Sedang terhadap hadits ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi.
Maka segala hadits yang diterima dari Rasul SAW., oleh para sahabat diingatnya secara sungguh-sungguh dan hati-hati. Lalu tergambarlah lafal atau makna itu dalam dzihn (benak) mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan. Mereka mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rasul. Karena tidak semua sahabat pada setiap waktu dapat menghadiri majelis Nabi, maka mereka menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain secara hafalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW., untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; Kedua, Rasul SAW., banyak memberikan spirit melalui doa-doanya; Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.

b. Menulis Hadits
Di balik larangan Rasul SAW., seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits dan memiliki catatan-catatannya, ialah:
1. Abdullah ibn Amr Al-‘Ash. Ia memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul SAW., sehingga diberinya nama al-sahifah al-shadiqah.
2. Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-anshari (w.78 H).
3. Abu Hurairah Al-Dausi (w.59 H) Ia memiliki catatan hadits yang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah.
4. Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW., dicatatkan hadits yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais.

c. Mempertemukan Dua Hadits yang Bertentangan
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, larangan Rasul SAW., menuliskan hadits adalah khusus ketika al-Quran turun. Ini karena ada kekhawatiran tercampurnya naskah ayat al-Quran dengan Hadits.
Pendapat ulama dalam hal ini dicoba diambil kesimpulannya, maka (sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Ajjaj Al-Khathib) akan ditemukan sekitar empat qaul, seperti di bawah ini.
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Kedua, yang lain menyebutkan bahwa larangan menulis hadits terjadi pada periode awal Islam. Hal ini karena adanya keterbatasan-keterbatasan. Ketiga, ada ulama yang memandang bahwa larangan tersebut pada dasarnya bagi orang yang kuat hafalannya. Keempat, ada juga yang memandang bahwa larangan tersebut dalam bentuk umum, yang sasarannya masyarakat banyak.
Boleh jadi, perbedaan-perbedaan perhatian dan tidak membukukan hadits disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
a. Men-tadwin-kan (membukukan) ucapan, amalan, serta muamalah Nabi adalah suatu hal yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi untuk menulis segala yang tersebut di atas, padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung. Oleh karena Al-Quran merupakan sumber tasyri’ asasi, maka dikerahkan beberapa orang penulis untuk menulis Al-Quran dan Nabi memanggil mereka untuk menuliskan wahyu itu setiap kali turun.
b. Karena orang Arab disebabkan mereka tidak pandai menulis dan membaca tulisan kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya. Mempergunakan waktu untuk menghafal Al-Quran yang turunkan secara berangsur-angsur itu adalah suatu hal yang mudah bagi mereka, namun tidaklah demikian terhadap Al-Hadits.
c. Dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi dengan
Al-Quran dengan tidak sengaja. Karena itu Nabi, melarang mereka menulis hadits karena khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan firman Ilahi.


d. Kedudukan Usaha Menulis Hadits di Masa Nabi SAW
Ada riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai shahifah (lembaran-lembaran) yang tertulis hadits. Mereka membukukan sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasulullah SAW. Seperti shahifah Abdullah ibn Amr ibn Ash, yang dinamai “Ash-Shadiqah.”
Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang ditetapkan kepada keluraga, dan lain-lainnya. Menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.

e. Pembatalan Larangan Menulis Hadits
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang di-nasakh-kan oleh hadits Abu said, di-mansukh-kan dengan izin yang datang sesudahnya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Quran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang tertentu. Riwayat Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.
Dikatakan pula kebolehan menulis hadits secara tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhary yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan umat. Akan tetapi, karena ketika itu Nabi dalam keadaan sakit berat, Umar menghalangnya karena ditakuti menambah berat sakit Nabi.
Dapat pula dipahamkan, bahwa sesudah Al-Quran dibukukan, ditulis dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya, barulah dikeluarkan izin menulis hadits.


B. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadits, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Quran, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
1. Kecerdasan Para Sahabat dan Kejernihan pikiran mereka
Lingkungan masyarakat Arab saat itu cukup kondusif dalam menjaga kejernihan pemikiran mereka. Kondisi lingkungan saat itu masih belum terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran luar. Di samping itu, budaya luar jazirah Arabiyah juga belum banyak berpengaruh dalam kehidupan mereka.
Di sisi lain, masyarakat Arab saat itu dikenal sebagai masyarakat yang tidak pandai baca tulis. Masyarakat yang buta huruf lebih banyak mengandalkan hafalan dalam menyimpan informasi. Hafalan mereka terasah begitu tajam, mampu untuk menghafal segala informasi yang didengar maupun yang dilihat.
Yang lebih penting lagi, masyarakat Arab saat itu juga sudah terlatih untuk menghafal. Mereka terbiasa menghafal syair-syair yang isinya cukup panjang. Selain syair mereka juga menghafal nasab turunan yang juga cukup panjang. Merupakan aib bagi mereka jika ada seorang yang tidak hafal akan nasab keturunannya.
Faktor- faktor itulah yang nampaknya banyak berpengaruh dalam menopang kekuatan hafalan para sahabat, yang pada gilirannya kemampuan dan potensi hafalan tersebut mereka gunakan untuk menghafal hadits di samping Al-Quran.
Selain tidak terbiasa menulis, mereka juga tidak sepakat jika ilmu pengetahuan itu ditulis. Ibn Abbas ra. termasuk salah satu dari mereka. Beliau berpendapat bahwa menulis itu melemahkan hafalan.
Keberadaan Nabi di sekitar mereka juga menjadi alasan mengapa hadits cukup dihafal dan belum begitu perlu untuk ditulis. Mereka berpendapat bahwa jika terjadi sesuatu yang perlu ditanyakan, mereka masih bisa datang dan bertanya pada beliau, Nabi SAW.

2. Motivasi Agama
Kesadaran bahwa kebahagian dunia maupun akhirat terdapat dalam kepatuhan manusia terhadap perintah dan ajaran agama. Komitmen dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjadikan Al-Quran dan hadits sebagai pegangan hidup adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang hakiki.
Kesadaran tersebut mendorong para sahabat untuk berusaha semaksimal mungkin menjaga keotentikan hadits dan menyebarkannya. Ditambah lagi dengan dorongan Rasulullah SAW pada sahabat untuk selalu menghafal dan menyampaikan hadits beliau.

3. Kedudukan Hadits
Banyak ayat maupun hadits yang menerangkan tentang kedudukan hadits dalam Islam. Hadits sebagai sumber hukum kedua menuntut para sahabat untuk selalu berpegang teguh dengan hadits dan mengamalkannya. Keyakinan bahwa Islam tidak dapat dipahami dengan sempurna tanpa intervensi hadits mendorong mereka untuk selalu menjaga dan mengambil hadits. Bahkan, mereka tidak rela meninggalkan majlis al-ilm yang diasuh oleh Nabi ditinggalkan begitu saja tanpa alasan. Sayyidina Umar –sebagaimana diriwayatkan imam Bukhori- merupakan contoh dalam hal ini. Sayyida Umar berkata: “saya bergantian dengan tetanggaku Bani Umayyah bin Zaid untuk hadir di majlis Rasulullah SAW. Jika saya hadir, saya informasikan padanya apa yang disampaikan Nabi SAW., saat itu, dan sebaliknya, jika dia yang hadir dia sampaikan padaku apa yang diajarkan oleh Nabi SAW., saat itu.”
Kasus semacam ini tidak hanya terjadi pada kaum pria dari kalangan sahabat, namun semangat seperti ini juga terdapat pada para wanita saat itu, seperti dikatakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri: “beberapa orang wanita “protes” kepada Nabi, ya Rasulullah, waktumu banyak kau gunakan untuk mengajari para laki-laki, sisihkanlah sedikit waktu untuk kami. Lalu Rasulullah menjadwalkan waktu untuk mengajari mereka para wanita.”

4. Metode Penyampaian Hadits
Nabi SAW., adalah seorang pendidik. Dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, beliau memiliki cara yang bijak dan patut untuk diteladani agar materi tersebut dapat diserap dengan baik dan maksimal oleh para sahabat yang nota benenya sebagai murid-murid beliau.
Agar hadits yang disampaikan dapat dipahami dengan sempurna, ada beberapa cara yang beliau lakukan, diantaranya:
a. materi tidak disampaikan dengan tergesa-gesa ataupun cepat, akan tetapi disampaikan dengan berlahan, bahkan tidak jarang ucapan beliau diulang hingga tiga kali agar pendengar benar-benar paham akan makna ucapan tersebut.
b. bila bicara beliau tidak menyampaikan dengan panjang lebar, akan tetapi cukup seperlunya namun bermakna.
c. materi disampaikan dengan uslub yang bervariasi dan tidak monoton. Bila diperhatikan, hadits-hadits Nabi SAW., teks bahasanya tidak selalu datar, namun ada variasi dalam bentuk ungkapannya. Ada hadits yang diungkapannya dengan bentuk spontan, datar dan tegas, seperti terdapat dalam kebanyakan hadits.
d. kondisi audien sangat dipertimbangkan. Beliau tidak menyampaikan hadits saat sahabat dalam kondisi tidak siap menerima materi. Sebaliknya, materi disampaikan saat mereka benar-benar fresh dan siap untuk menerimanya, atau pada saat mereka merindukan materi tersebut, sehingga materi atau hadits dapat terserap dengan sempurna pada hafalan para sahabat.

5. Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW., berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Quran dan Hadits serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan Sunnahku (Al-Hadits)”. (HR. Malik)
Dan sabdanya pula: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadits”.
Pesan-pesan Rasul SAW., sangat mendalam pengaruhnya kepada sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW., dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkannya.

6. Periwayatan Hadits dengan Lafaz dan Makna
Dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW.), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
a. Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW., ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membaca hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW, seperti yang dilakukan terhadap Ubaid ibn Amir.

b. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW., akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW., tanpa ada perubahan sedikitpun.
Periwayatan hadits dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadits-hadits yang redaksinya antara satu hadits dengan hadits lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama.

Memang mereka meriwayatkan hadits adakalanya dengan maknanya saja. Yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan meriwayatkan Al-Quran, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan sedikit pun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal Al-Quran merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya. Walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan.
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang meriwayatkan dengan beberapa lafal (matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.

7. Hadits di Masa Abu Bakar dan Umar
Para sahabat, sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam di Madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lain pun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang periwayatan hadits dalam kalangan tabi’in.
Periwayatan hadits di permulaan masa sahabat masih terbatas sekali. Hadits disampaikan kepada yang memerlukan saja dan apabila perlu saja, belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadits dan memperbanyak riwayatannya, terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar, yaitu masa Utsman dan Ali. Dalam masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits belum lagi diluaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minat umat (sahabat) untuk menyebarkan Al-Quran dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat.

8. Sebab-Sebab pada Masa Abu Bakar dan Umar Hadits Tidak Tersebar Dengan Pesat
Dengan tegas, sejarah menerangkan bahwa Umar ketika memegang tampuk kekhalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim para utusan ke Iraq beliau mewasiatkan supaya mereka mengembangkan segi kebagusan tajwid-nya, serta mencegah mereka memperbanyak riwayat.
Diterangkan bahwa pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekitarnya saya membanyakkan, tentulah Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.”
Satu masalah yang harus kita bahas dengan seksama ialah persoalan Umar mencegah penyebaran hadits. Ada dugaan sebagian ahli sejarah hadits bahwa Umar pernah memenjarakan Ibnu Mas’ud dan Abu Dzar lantaran membanyakkan riwayat hadits. Dugaan ini sebelumnya tidak didapati di dalam suatu kitab yang mu’tabar dan tanda kepalsuan pun nampak. Ibnu Mas’ud seorang yang terdahulu masuk Islam dan seorang yang dihormati Umar. Sudah dimaklumi pula bahwa dalam urusan hukum, diperlukan hadits-hadits. Mengenai Abu Darda’ dan Abu Dzar, sejarah tidak memasukkan beliau ke dalam golongan orang yang membanyakkan riwayat. Abu Darda’ diakui menjadi guru di Syiria, sedangkan Ibnu Mas’ud menjadi guru di Iraq.
Ibnu Hazm telah menegaskan bahwa riwayat yang menyatakan Umar memenjarakan tiga shahaby besar itu, dusta.

9. Lafal-Lafal yang Dipakai Sahabat dalam Meriwayatkan Hadits dan Derajatnya
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW., maupun perbuatannya, para Ahli Ushul membaginya kepada lima derajat:
a. Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, Sami’tu Rasulullahi yaqulu kadza… (saya dengar Rasul berkata begini…)”, atau “Akhbarani… (mengabarkan kepadaku…)”, atau “Haddatsani… (menceritakan kepadaku…)”, atau “Syafahani… (berbicara di hadapanku…)”
Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits. Riwayat yang serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak mendengar sendiri.
b. Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rasul SAW., begini, atau mengabarkan Rasul SAW., begini, atau menceritakan Rasul SAW., begini.
Riwayat ini zhahirnya, sahabat tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri. Ada kemungkinan mendengar dari orang lain. Biasa seorang berkata, bersabda Rasulullah atas dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mendengarnya.
c. Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasul SAW., menyuruh begini, atau menegah (melarang) ini…” Ini dihukumi marfu’ menurut mahzab Jumhur.
Ada tiga kemungkinan mengenai hal ini.
1) Mungkin tidak didengar sendiri perintah tersebut,
2) Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja.
3) Tentang umum dan khususnya.
d. Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “Kami diperintahkan begini, atau kami ditegah (melarang) begini…”
Ini menerima ketiga kemungkinan (ihtimal) yang telah diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang yang menyuruh, mungkin Nabi SAW., mungkin orang lain.
e. Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “Kami para sahabat berbuat begini…” Maka jika disandarkan kepada zaman Rasul, memberi pengertian boleh. Contoh, perkataan Abu Said, “Di zaman Rasul kami mengeluarkan satu gantang gandum untuk zakat fitrah.

10. Ketelitian Para Sahabat dalam Menerima Hadits dari Sesama Sahabat
Sahabat Rasul SAW., dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui sepenuhnya isi Al-Quran. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir (perintah) dan menjauhi segala nawahi (larangan). Apabila mereka mengetahui sesuatu dari Sunnah Rasul mereka segera mengajarkannya kepada orang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah dan untuk mencari rahmat. Dengan demikian hadits-hadits itu segera tersebar di kalangan umat. Maka apabila hadits itu terlupakan oleh seseorang, tetap ada orang yang masih menghafalnya.
Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Mereka tidak menerimanya dari siapa saja. Mereka mengetahui ada hadits yang menghalalkan dan ada hadits yang mengharamkan dengan jalan “yakin” atau zhan yang kuat. Karena itu mereka memperhatikan rawi atau marwi. Mereka tidak membanyakkan penerimaan hadits, sebagaimana tidak pula membahayakan riwayat.

11. Syarat-Syarat yang Ditetapkan Abu Bakar, Umar dan Ali ketika Menerima Hadits
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadits dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat diingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Dalam keterangan beberapa atsar, Abu Bakar ra. dan Umar tidak menerima hadits jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, seperti yang diriwayatkan oleh Adz-Dzahaby dalam Tadzkirah al-Huffazh. Menurut keterangan atsar bahwa Ali tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Namun dalam beberapa atsar bahwa beliau-beliau itu menerima juga hadits-hadits dengan riwayat seorang saja, tidak memerlukan seorang saksi dan tidak disumpah.
Asy-Syafi’y dalam Ar-Risalah, As-Sayuthy dalam Miftah al-Jannah, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam, dan Syaikhul Islam Syubair Ahmad al-Utsmany dalam Fath al-Mulhin syarh Muslim menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa beliau-beliau itu (Abu Bakar dan Umar) menerima riwayat orang seorang.
Ibnu Uyainah Ibrahim ibn Isma’il dan segolongan Ahli Nazhar seperti Abu Ali al-Jubba’iy dan mereka yang mengikutinya menetapkan bahwa “diriwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshahihkan hadits. Mereka berdalil, dengan riwayat Ibnu Syihab az-Zuhry bahwa Abu Bakar meminta saksi kepada Mughirah yang menerangkan bahwa nenek perempuan mendapat seperenam (dalam hal warisan), yang kemudian disaksikan oleh Muhammad ibn Salamah. Mereka berdalil pula dengan riwayat yang menerangkan bahwa Umar meminta saksi kepada Abu Said untuk membenarkan riwayatnya yang kemudian disaksikan oleh seorang shahaby. Mereka meng-qiyas-kan riwayat kepada persaksian.

12. Hadits di Masa Utsman dan Ali
Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman dan dibuka pintu perlawatan kepada para sahabat, umat mulai memerlukan keberadaan sahabat, terutama sahabat-sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat kediamannya untuk mencari hadits.

13. Sebab-Sebab Para Sahabat Tidak Membukukan Hadits dan Mengumpulkannya dalam Sebuah Buku
Asy-Syaikh Abu Bakar ash-Shiqilly berkata dalam Fawa’id-nya menurut riwayat Ibnu Basykual, “Para sahabat tidak mengumpulkan sunnah-sunnah Rasulullah dalam sebuah mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Quran, karena sunnah-sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dihafal dari yang tidak. Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan hadits kepada hafalan-hafalan mereka saja, tidak seperti halnya Al-Quran, mereka tidak menyerahkan penukilannya secara demikian.”
Lagipula, lafal-lafal sunnah itu tidak terjamin kesempurnaannya, sebagaimana Allah SWT., telah menjaga Al-Quran dengan nazham-nya yang paling indah yang tidak dapat diciptakan yang sepertinya oleh manusia.
Mengenai pengumpulan Al-Quran para sahabat bersatu. Mereka berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraannya. Karena itu, tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka perselisihkan itu. Sekiranya mereka sanggup menulis Al-Quran, tentulah mereka telah mengumpulkan sunnah-sunnah itu. Mereka takut, jika mereka tadwinkan apa yang mereka perselisihkan, akan dijadikanlah pegangan yang kuat, serta ditolak apa yang tidak masuk ke dalam buku itu. Dengan demikian tertolaklah banyak sunnah
Para sahabat membuka jalan mencari hadits kepada umat sendiri. Mereka mengumpulkan sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah segala sunnah. Lantaran itu, ada yang dapat dinukilkan hakikat lafal yang diterima dari Rasul SAW., dan sunnah-sunnah yang bersih dari ‘illah (cacat), ada yang hanya dihafal maknanya, telah dilupakan lafalnya dan ada yang berselisihan riwayat dalam menukilkan lafal-lafalnya dan berselisihan pula perawinya tentang kepercayaan dan keadilan pemberitanya. Itulah sunnah-sunnah yang dimasuki ‘illah.
Sunnah-sunnah telah dipilih mana yang shahih dari yang tidak oleh ulama yang ahli, berdasarkan kepada dasar-dasar yang shahih dan sendi-sendi yang kuat yang tidak dapat dicacatkan lagi oleh seorang pencacat, atau dilemahkan.


C. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin, khususnya masa kekhalifahan Usman para sahabat ahli hadits menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol, di samping Madinah, Mekkah, Basrah, Syam dan Khurasan. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (intisyar al-riwayah ila al-amshar).

1. Masa Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Hadits
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkannya ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H. tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H tentara Islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ke tempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan Al-Quran dan Al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.



2. Lawatan Para Sahabat untuk Mencari Hadits
Menurut riwayat Al-Bukhary, Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy, disebutkan bahwa Jabir pernah pergi ke Syam melakukan perlawatan sebulan lamanya untuk menanyakan sebuah hadits yang belum pernah didengarnya kepada seorang shahaby yang tinggal di Syam, yaitu Abdullah ibn al-Anshary.
Abu ayyub al-Anshary pernah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah ibn Amr untuk menanyakan sebuah hadits kepadanya.
Dalam fase ini, hadits mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabi’in berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-A’la (sebelum meninggal). Demikian pula berita tentang kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in. Ketika mengetahui kedatangan seorang shahaby, mereka berkumpul di sekitarnya untuk menerima hadits yang ada pada shahaby tersebut.

3. Sahabat-Sahabat yang Mendapat Julukan “Bendaharawan Hadits”
Dalam fase ini dikenal beberapa orang sahabat dengan julukan “bendaharawan hadits”, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits. Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya lebih banyak itu karena:
Pertama, yang paling awal masuk Islam, seperti Khulafa’ Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.
Kedua, terus-menerus mendampingi Nabi SAW., dan kuat hafalan, seperti Abu Hurairah.
Ketiga, menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari Nabi SAW., dan panjang pula umurnya, seperti Anas ibn Malik, walaupun beliau masuk Islam sesudah Nabi SAW., menetap di Madinah.
Keempat, lama menyertai Nabi SAW., dan mengetahui keadaan-keadaan Nabi SAW., karena bergaul erat dengan Nabi SAW., seperti istri-istri beliau Aisyah dan Ummu Salamah.
Kelima, berusaha untuk mencatatnya, seperti Abdullah ibn Amr ibn Ash. Beliau meriwayatkan hadits dalam buku catatannya yang dinamai Ash-Shadiqah.
Di antara sahabat yang mengembangkan periwayatan hadits ialah:
a. Abu Hurairah. Beliau ini seorang yang banyak sekali menghafal hadits dari Nabi SAW., dan bersungguh-sunnguh berusaha mengembangkannya di kalangan umat sesudah Umar wafat. Karena itu, Abu Hurairah menjadi seorang perawi shahaby yang paling banyak meriwayatkan hadits. Menurut keterangan Ibnu al-Jauzy dalam Talqih Fuhumi Ahl al-Atsar, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sejumlah 5.374 buah. Menurut hitungan Al-Kirmany 5.364 buah. Dalam Musnad Ahmad terdapat 3.848 buah.
b. Aisyah, istri Rasul SAW.
c. Anas ibn Malik
d. Abdullah ibn Abbas
e. Abdullah ibn Umar
f. Jabir ibn Abdillah
g. Abu Said al-Khudry
h. Ibnu Mas’ud
i. Abdullah ibn Amr ibn Ash.
Abdullah ibn Abbas sangat bersungguh-sungguh menanyakan hadits kepada para sahabat, lalu mengembangkannya. Ketika upaya pemalsuan hadits mulai tumbuh, barulah Ibnu Abbas menyedikitkan riwayatnya.
Menurut perhitungan para hadits para sahabat penghafal hadits yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
a. Abdullah ibn Umar, sebanyak 2.630 hadits.
b. Anas ibn Malik, sebanyak 2.276 hadits. Menurut Al-Kirmany, sebanyak 2.236 hadits.
c. Aisyah, sebanyak 2.210 hadits.
d. Abdullah ibn Abbas, sebanyak 1.660 hadits.
e. Jabir ibn Abdullah, sebanyak 1.540 hadits.
f. Abu Said al-Khudry, sebanyak 1.170 hadits.
Ada juga para sahabat yang menyedikitkan riwayatnya, yaitu az-Zubair, Zaid ibn Arqam, Imran ibn Husain. Az-Zubair menyedikitkan riwayat karena takut terjerumus ke dalam kedustaan, sebagaimana diterangkan Al-Bukhary dalam kitab Al-‘Ilmi dalam Shahih-nya. Zaid ibn Arqam tidak berani lagi meriwayatkan hadits sesudah usianya lanjut, takut telah banyak yang dilupakannya, seperti yang diterangkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya.
Para Tabi’in mengambil hadits dari para sahabat dengan tidak ragu-ragu, dan para sahabat itu mengambil dari sesamanya.

4. Tokoh-Tokoh Hadits
Di antara tokoh-tokoh tabi’in yang masyur dalam bidang riwayat:
a. Di Madinah: Said (93), Urwah (94), Abu Bakar ibn Abd ar-Rahman ibn Al Harits ibn Hisyam (94), Ubaidullah ibn Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, Nafi’, Az-Zuhry, Abu az-Zinad, Kharijah ibn Zaid, Abu Salamah ibn Abd ar-Rahman ibn Auf.
b. Di Makkah: Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah, Abu az-Zubair, Muhammad ibn Muslim.
c. Di Kufah: Asy-Sya’by, Ibrahim an-Nakha’y, Alqamah an-Nakha’y.
d. Di Bashrah: Al-Hasan, Muhammad ibn Sirin, Qatadah.
e. Di Syam: Umar ibn Abd al-Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’b al-Akbar.
f. Di Mesir: Abu al-Khair Martsad ibn Abdullah al-Yaziny, Yazid ibn Habib.
g. Di Yaman: Thaus ibn Kiasan al-Yamany, Wahab ibn al-Munabbih (110).



5. Pusat-Pusat Hadits
Kota-kota yang menjadi pusat hadits ialah:
a. Madinah
Di antara tokoh-tokoh hadits di kota Madinah dalam kalangan sahabat ialah Abu Bakar, Umar, Ali (sebelum berpindah ke Kufah), Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Said al-Khudry dan Zaid ibn Tsabit.
Di antara sarjana-sarjana tabi’in yang belajar kepada sahabat-sahabat itu ialah Said, Urwah, Az-Zuhry, Ubaidilahibn Abdillah ibn Utbah, Ibnu Mas’ud, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, Nafi’, Abu Bakar ibn Abd ar-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam dan Abu az-Zinad.
b. Makkah
Di antara tokoh hadits Makkah ialah Mu’adz, kemudian Ibnu Abbas. Di antara tabi’in yang belajar padanya ialah Mujahid, Ikrimah, Atha’ ibn Abi Rabah, Abu az-Zubair Muhammad ibn Muslim.
c. Kufah
Ulama sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah ialah Ali Abdullah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Said ibn Zaid, Khabbab ibn al-Arat, Salman al-Farisy, Hudzaifah ibn Yaman, Ammar ibn Yassir, Abu Musa, Al-Baraq, Al-Mughirah, Al-Nu’man, Abu ath-Thufail, Abu Juhaifah dan lain-lain.
Abdullah ibn Mas’ud adalah pemimpin besar hadits di Kufah. Ulama hadits yang belajar kepadanya ialah Masruq, Ubaidah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Said ibn Jubair, Amir ibn Syurahil, dan Asy-Sya’by.
d. Bashrah
Pimpinan hadits di Bashrah dari golongan sahabat ialah Anas ibn Malik, Utbah, Imran ibn Husain, Abu Barzah, Ma’qil ibn Yasar, Abu Bakar, Abd ar-Rahman ibn Samurah, Abdullah ibn Syikhkhir, Jahirah ibn Qudamah.
Sarjana-sarjana tabi’in yang belajar pada mereka antara lain ialah Abul Aliyah, Rafi’ ibn Mihram ar-Riyahy, Al-Hasan al-Bishry, Muhammad ibn Sirin, Abu Sya’tsa’, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mutarraf ibn Abdullah ibn Syikhkhir, dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
e. Syam
Tokoh hadits dari sahabat di Syam ini ialah Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit dan Abu Darda’, pada beliau-beliau itulah banyak tabi’in belajar di antaranya: Abu Idris al-Khaulany, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul, Raja’ ibn Haiwah.
f. Mesir
Di antara sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir ialah Abdullah ibn Amr, Uqbah ibn Amr, Kharijah ibn Hudzaifah, Abdullah ibn Sa’ad, Mahmiyah ibn Juz, Abdullah ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Sa’ad al-Khair, Mu’adz ibn Anas al-Juhary. Ada kira-kira 140 orang sahabat yang mengembangkan hadits di Mesir.
Di antara tabi’in yang belajar pada mereka ialah Abu al-Khair Martsad al-Yaziny dan Yazid ibn Abi Habib.

6. Mulai Timbul Pemalsuan Hadits
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali wafat.
Tahun 40 H merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits. Sejak dari timbul fitnah di akhir masa Utsman, umat Islam pecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan Ali ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah. Ketiga, golongan Jumhur (golongan pro pemerintah pada masa itu).
Umat Islam terpecah ke dalam golongan-golongan tersebut. Karena didorong kepentingan golongan, mereka berupaya mendatangkan keterangan (hujjah) untuk mendukung keberadaan mereka. Maka mereka berupaya membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah di antara riwayat-riwayat itu ada yang shahih dan ada yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-mula mereka memalsukan hadits mengenai pribadi-pribadi orang yang mereka agung-agungkan. Yang mula-mula melakukan pekerjaan saat itu ialah golongan Syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya Syarh Nahju al-Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi’ah sendiri.” Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan Syi’ah itu.
Maka dengan keterangan ringkas ini nyatalah bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu (maudhu’) ialah Baghdad (Iraq) tempat kaum Syi’ah berpusat. Imam az-Zuhry berkata, “Hadts keluar dari kami sejengkal lalu kembali kepada kami dari Iraq, sehasta.” Imam Malik sendiri menamakan Baghdad sebagai “pabrik hadits palsu.”













Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku, Prof. Dr. 2009. Sejarah dan pengantar ilmu hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Khon Majid, Abdul, H. Dr. M. Ag. 2008. Ulumul hadits. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Mudasir. H. Drs. 1999. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia
Smeer. B. Zeid. 2008. Pengantar studi hadist praktis. Malang: Malang Press
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu hadits. Cet. Ke-3. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar: