Entri Populer

Senin, 08 November 2010

PEMBENTUKAN KELUARGA QUR’ANI

PEMBENTUKAN KELUARGA QUR’ANI

A. Kriteria Keluarga Qur’ani
Sesuai dengan istilah-istilah baik langsung maupun tidak langsung yang mengandung makna keluarga, maka indikasi dan kriteria sebuah keluarga Qur’ani dapat dilihat dari aspek yaitu, proses pembentukan, pembinaan keluarga dan dari fungsi sebuah keluarga:
1. Proses pembentukan
Pembentukan rumah tangga Qur’ani berazaskan pada sendi-sendi agama bukan karena materi, kecantikan dan keturunan belaka. Dengan demikian karena berangkat (niat awal) dari nilai-nilai keagamaan maka semua aktivitas dalam keluarga standarisasinya adalah agama (nas) dan Allah melarang pernikahan yang dilakukan dengan orang yang tidak seaqidah. Batasan tersebut karena pernikahan bukan hanya “ikatan kontrak” dengan sesama manusia melainkan melibatkan Allah. Pernikahan dengan alasan selain agama tidak akan mencapai kesempurnaan dan bahkan tidak sah (batil).
Keluarga Qur’ani tidak mungkin terwujud bila kontradiksi dengan konsep yang al-Qur’an, yaitu keimanan. Maka rumah tangga yang dibangun dengan pondasi lain agama pernikahan tersebut batil dan batal demi nash. Mengingat berumah tangga atau berkeluarga adalah ibadah maka aturan mainnya harus mengacu pada apa yang telah ditentukan Allah dalam al-Qur’an. Konsep ini dalam kajian pernikahan termasuk dalam pembahasan kafa’ah. Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal.[1]
Al-Qur’an terdapat ketentuan yang mengatur masalah kafa’ah (lihat surat Al-Hujuraat : 13). Kemudian dalam surat An-Nur Allah Swt berfirman:
الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمنين

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 3).

Selanjutnya masih dalam surat An-Nur Allah SWT berfirman:
الخبيثات للخبيثين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات أولئك مبرءون مما يقولون لهم مغفرة ورزق كريم

Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula. Mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu. Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia. (QS. An-Nur : 26).

Panduan dalam kalam Allah tersebut jelas bahwa kafa’at menyangkut keimanan (aqidah) adalah suatu keharusan. Demikian juga pada acara ijab dan qabul diharuskan menggunakan kata “zawaj” atau “nikah” ini memberikan pemahaman dan konsekwensi hukum yang dalam dan luhur. Dengan istilah tersebut melahirkan tanggung jawab, hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh masing-masing pihak (isteri dan suami).
2. Pembinaan Keluarga Qur’ani
Dalam menjalani kehidupan berumah tangga dibutuhkan berbagai ilmu, rasa (perasaan) dan asa (pembinaan dan pendidikan). Hal ini mengingat menikah menyatukan dua insan yang berlainan jenis, karakter dan latar belakang keluarga yang berbeda. Untuk membinanya perlu persamaan persepsi, visi dan misi. Konsep dan konstruksi suatu rumah tangga Qur’ani pada akhirnya adalah menggapai ridha Ilahi. Untuk sampai pada tujuan tersebut maka semua insan rumah tangga satu langkah seayunan dan menguatkan azam (niat) hanya pada Allah. Karena iklim keluarga yang sehat atau perhatian orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis anak.[2]
Taklif pembinaan keluarga tertumpu pada pemimpin (suami/ayah). Pembinaan dan pendidikan pada anggota keluarga mencakup aspek sosial, ekonomi biologis dan psikologis. Kandungan unsur tersebut diambil dari makna yang tercakup pada lafadz al-ahl, raht, rukn dan fashilah dengan terpenuhinya hal tersebut akan bermuara pada ketentraman (sakinah) sebagai tujuan keluarga. Oleh karena itu para pemuda yang belum memiliki ba’ah (kesanggupan baik jasmani maupun rohani) dianjurkan untuk menahan diri (berpuasa).
Quraish Shihab dalam tafsirnya, melihat ayat 21 surat ar-Rum (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya) dengan memberikan penjalasan bahwa kesempurnaan makhluk hidup apabila telah bergabung dan bersama antara laki-laki dan perempuan. Karena masing-masing dengan eksistensi, potensi dan berbagai kegoncangan jiwa dan kekacauan pikiran karena pengaruh dorongan hawa nafsu dan libido seksual.[3] Sedangkan al-Maraghi menyebutkan bahwa segala sesuatu yang Allah ciptakan terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang yang berakal agar mereka menggali dan mencari hikmah di balik itu.[4]
Demikian juga Ibnu Kasir menafsirkan ayat 21 surat ar-Rum dengan mengatakan bahwa diantara rahmat yang paling sempurna yang dianugerahkan pada umat manusia adalah menjadikan pasangan lawan jenis dari mereka sendiri, dan menjadikan rasa kasih sayang diantara mereka. Karena adakalanya rasa cinta atau sayang kepadanya atau karena mempunyai anak darinya, atau sebaliknya perempuan memerlukan perlindungan dari si laki-laki atau memerlukan nafkah dan atau keduanya saling menyukai dan alasan lainnya.[5]
Berjalannya hak dan kewajiban dengan baik, maka anggota keluarga merasakan ketenangan dan ketentraman (sakinah). Mereka merasa terhindar untuk melakukan keburukan bahkan tumbuh rasa cinta kasih luhur (bersendi agama) serta satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan (mawaddah). Kondisi psikologis dimana individu tidak akan sanggup menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidup dengan sendiri, perlu bantuan dan intervensi orang lain sehingga kedamaian hati lahir dari sentuhan kasih sayang pasangannya (rahmah).
3. Fungsi keluarga
Fungsi keluarga ini dapat dikemukakan bahwa secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai: [6]
Memberi rasa aman bagi anak dan angota keluarga lainnya,
Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis,
Sumber kasih sayang dan penerimaan,
Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik,
Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat,
Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan,
Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,
Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat,
Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi, dan
Sumber persahabatan/teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.

Berdasarkan kutipan tersebut di atas maka setiap orang tua harus mengetahui dan sadar akan fungsi dan peranan sebuah rumah tangga bagi anak. Tanpa adanya kesadaran pemahaman yang tinggi dengan disertai kesadaran untuk implementasi maka dikhawatirkan anak-anak akan tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang tidak menguntungkan bagi perkembangan jiwa dan pembentukan karakrteristiknya. Setiap orang tua selalu dan ingin generasi penerusnya menjadi orang yang berguna (akhlak mulia) dan tumbuh sempurna, namun untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut mengalami variasi dan silang pendapat bahkan kontra teori dan metode. Paradigma dan kontroversial tersebut adalah wajar karena latar belakang baik keilmuan maupun sosio kultur budaya yang berbeda.
Unsur untuk menetralisir dan mencari alternatif jalan tengah adalah dengan mengembalikan pada konsep dasar yang diwahyukan Allah, baik melalui kalam-Nya maupun melalui lisan Rasulullah. Hal ini karena kemampuan daya nalar manusia sangat terbatas dan sekali-kali tidak akan mampu mencapai suatu kebenaran yang hakiki sebagaimana dimaksudkan Syara’.[7]
Di antara tuntunan (hidayah) al-Qur’an yang menggambarkan eksistensi keluarga adalah sebagaimana diungkapkan oleh Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal yaitu; sebagai pemenuhan hasrat seksual, menggapai ketenangan jiwa, memenuhi tuntutan keturunan, mendidik anak, mewujudkan kohesi sosial dan dapat mengantisipasi masyarakat dari keterpurukan.[8]
Ali Yusuf as-Subky, dengan gaya dan redaksi bahasa yang berbeda merincikan bahwa fungsi keluarga adalah; melahirkan keturunan (QS. Al-Anbiya’: 89-90, Ibrahim: 39, al-Hujurat 13), melindungi diri dari setan (QS. Al-Isra’: 32, an-Nur: 30-32), bersama menanggung beban hidup (QS. Ar-Rum: 21, al-Maidah: 2), menenangkan jiwa dan menjinakkannya dengan kebersamaan (QS. Al-A’raf: 189, ar-Rum: 21, al-Baqarah: 187, 223, an-Nahl: 80), memenuhi hak-hak anggota keluarga dan pemindahan kepemilikan harta waris (QS. An-Nisa’: 32, al-An’am: 98).[9]
Sebagai contoh salah satu ayat yang menjadi pilar bahawa rumah tangga menjadi sentral untuk memupuk dan menyuburkan rasa kebersamaan dalam menanggung jerih payahnya kehidupan adalah sebagaimana terungkap dalam surat al-Maidah ayat 2:
...وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب (المائدة:2)

Artinya: …Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS. Al-Maidah: 2).
Ayat tersebut menurut Departemen Agama dalam tafsirnya Allah memerintahkan kepada setiap kaum muslimin supaya memenuhi janji yang sudah diikrarkan baik kepada Allah maupun kepada kaum muslimin kecuali janji melanggar syari’at Islam. Selain itu juga wajib kepada kaum muslimin untuk saling bertolong bantu dalam hal kebajikan.[10] Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan ayat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan permasalahan keluarga (rumah tangga) melainkan berkaitan dengan peristiwa yang terjadi antara kaum msulimin dengan kaum musyrikin yang hendak memasuki kota Mekah pada bulan haji dimana kaum muslimin juga hendak melaksanakan haji.[11]
Ahmad Musthafa al-Maraghi memberikan penjelasan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa perintah tolong menolong dalam Islam adalah termasuk pokok-pokok petunjuk sosial dalam al-Qur’an. Untuk itu diperintahkan kepada kaum muslimin agar saling bertolong bantu dalam kebajikan dan apa saja yang bermanfaat bagi umat manusia baik pribadi maupun kelompok, baik dalam perkara dunia maupun agama juga dalam perbuatan takwa yang dengan itu mereka mencegah terjadinya kerusakan dan bahaya yang mengancam keselamatan mereka. Pada awal Islam rasa solidaritas sangat tinggi dengan tanpa perikatan dan perjanjian dan organisasi, pada waktu itu mereka hanya diikat dengan hanya janji dan sumpah Allah saja.[12] Perintah kepada tolong menolong dalam kebajikan dan takwa tersebut adalah suatu kewajiban dan barang siapa yang meninggalkan adalah dosa.[13]
Paparan tersebut memberikan ilustrasi bahwa ikatan perkawinan adalah salah satu sarana untuk memperkuat jalinan dan tidak ada alasan untuk tidak saling tolong menolong apalagi dengan sesama keluarga yang dijalin dengan landasan agama. Kewajiban tersebut tertaklif pada setiap muslim dengan mengacu pada ayat tersebut dengan alasan meninggikan ajaran Allah dan menegakkan kebajikan di muka bumi ini.
Berdasarkan pengkajian dari paparan dan beberapa surat serta ayat tersebut jelaslah bahwa keluarga adalah salah satu jalan untuk mencapai kemuliaan dan jalan yang mulia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Dengan bahasa lain keluarga merupakan sarana untuk penyaluran hasrat biologis yang sah sebagai jalan untuk mempererat kasih sayang dan mendapatkan keturunan. Kebersamaan dalam keluarga dapat juga menjadi kekuatan baru untuk menghadapi berbagai problema kehidupan serta tempat membina genesari penerus. Lembaga keluarga selain sebagai madrasah awal bagi anak-anak juga sebagai lembaga da’wah dan sosial yang pada akhirnya terakumulasi masyarakat yang Qur’ani.

B. Pendidikan Keluarga Qur’ani
Dalam perspektif Islam, terdapat tiga term yang sangat erat berhubungan dengan makna pendidikan ini. Pertama Ta’lim, berasal dari ‘allama yang berarti mengajarkan. Atau sekedar memberitahu atau memberi pengetahuan.[14] Kedua, Tarbiyah, mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik, termasuk di dalam makna mengajar atau ‘alam. Dari makna ini pendidikan dirumuskan sebagai proses bimbingan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh dan akal) secara maksimal agar dapat manjadi bekal dalam menghadapi kehidupan dalam masa depan.[15] Ketiga, ta’dib dari kata addaba yang mengandung makna ta’lim dan tarbiyah. Dalam pengertian pendidikan dirumuskan sebagai upaya membentuk manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan susunan masyarakat, bertingkahlaku secara profesional dan cocok dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya.[16]
Pendidikan Islam dirumuskan sebagai usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai mahluk sosial secara bertahap sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, jenis kelamin, bakat, tingkat kecerdasan serta potensi spiritual yang yang dimiliki masing-masing secara maksimal.[17] Dalam pengertian ini memuat pentahapan dan metode sesuai dengan sasaran subyek didik. Termasuk dalam sasaran pendidikan di sini adalah pendidikan di dalam keluarga, yang dilakukan oleh dan untuk anggota keluarga.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, “Pendidikan Islam” harus mendasarkan pada makna “Islam” itu sendiri. Menurutnya agama Islam meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlaqul karimah) atas dasar iman kepada Allah dan tanggungjawab pribadi di hari kemudian.[18]
Karena itulah pendidikan Islam tidak terbatas hanya kepada “pengajaran“ tentang ritus-ritus dan segi-segi formalistik agama. Meski ini penting, namun ritus dan formalitas yang dalam hal ini terutama terwujud dalam rukun Islam baru akan mempunyai makna yang hakiki jika mengantarkan orang yang bersangkutan kepada tujuan yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarub) kepada Allah dan kebaikan sesama manusia (akhlaqul karimah).[19] Maka ruang lingkup pendidikan Islam berkisar pada dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi (ketuhanan) dan pengembangan rasa kemanusiaan kapada sesama sebagai dimensi kemanusiaan.
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu dan sudut pandang masyarakat. Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk mengembangkan potensi-potensi individu yang terpendam dan tersembunyi. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat, pendidikan merupakan usaha mewariskan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan.[20] Dengan begitu di dalam pendidikan terdapat upaya untuk melakukan perubahaan prilaku.
Di dalam Al-Qur’an perubahaan semacam ini harus dilakukan oleh diri sendiri baik dalam perspektif individu maupun sosial. Allah berfirman:
...إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم ... (الرعد: 11)

Artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...” (QS. Ar-Ra’du: 11)
Dalam konteks perubahan perilaku ini apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di dalam menyampaikan dakwah risalah-Nya juga termasuk kegiatan pendidikan. Ciri utamanya adalah perubahaan sikap dan tingkah laku sesuai petunjuk ajaran Islam. Dalam kaitan upaya merubah sikap dan tingkah laku ini secara umum pendidikan bertujuan membentuk kepribadian sectoring yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rahani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT.[21]
Pendidikan dan pembinaan keluarga dalam perspektif al-Qur’an secara universal banyak disinggung dalam al-Qur’an. Dengan bahasa lain bahwa landasan pendidikan dalam Islam mengacu pada nas (al-Qur’an dan al-Hadits). Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an adalah landasan utama setiap aktivitas umat Islam, aturannya mencakup semua aspek hidup dan kehidupan dan bersifat universal. Demikian juga terhadap permasalahan pendidikan, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berindikasi kepadanya, diantaranya adalah Surat Luqman ayat 13-14:
وإذ قال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم . ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير (لقمن: 13-14)

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S. Luqman: 13-14)

Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan melihat kata ya’idzuhu yaitu suatu kalimat yang bijak menyentuh hati dengan tidak membentak atau menyakiti sebagaimana dipahami panggilan mesra kepada anak.[22] Ini memberikan isyarat bahwa pendidikan hendaknya dengan persuatif dan menyentuh sehingga peserta didik (anak-anak) tidak merasa tersakiti. Demikian juga Ibnu Kasir yang mengatakan bahwa Lukman adalah orang yang diberikan hikmah dimana Lukman memberikan nasihat kepada buah hatinya yang dikasihinya dengan tidak menyimpang dari aqidah yang dianutnya.[23]
Tujuan atau orientasi pendidikan Islam adalah pemahaman dan internalisasi nilai sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 187:
وإذ أخذ الله ميثاق الذين أوتوا الكتاب لتبيننه للناس ولا تكتمونه فنبذوه وراء ظهورهم واشتروا به ثمنا قليلا فبئس ما يشترون (ال عمران: 187)

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (Q.S. Ali Imran: 187)

Selain itu, juga salah satu tujuan lain dari pendidikan adalah menjaga diri dan segenap anggota keluarga dari siksa Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
ياأيها الذين ءامنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون)التحريم: 6)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)

Berdasarkan ayat tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang wajib memelihara diri dan keluarganya ke jalan yang benar supaya semua anggota keluarga terhindar dari api neraka. Oleh sebab itu, pendidikan dari sebuah keluarga itu merupakan suatu yang sangat urgen dan mutlak diperlukan sehingga syari’at Islam terinternalisasi dalam keluarga. Dengan demikian keluarga Islami yang terdiri dari pribadi-pribadi yang Islami dapat terwujud.
Sumber ayat lain yang dapat dijadikan rujukan di antaranya dapat dilihat: Q.s. al-Nahl:78,
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون (النحل: 78)

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).
Ayat tersebut di atas mengandung pengertian proses belajar itu dimulai sejak lahir, di mana Allah menganugerahkan kepada setiap anak yang baru lahir dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Kesemuanya ini memungkinkan anak (manusia) untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui belajar. Al-Qur’an surat al-Mu’min: 67
هو الذي خلقكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم يخرجكم طفلا ثم لتبلغوا أشدكم ثم لتكونوا شيوخا ومنكم من يتوفى من قبل ولتبلغوا أجلا مسمى ولعلكم تعقلون (المؤمن:67)

Artinya: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).

Dan dalam QS. al-Hajj: 5, yang selanjutnya sejalan dengan isi kandungan dalam Q.s. al-Nahl: 78.
ياأيها الناس إن كنتم في ريب من البعث فإنا خلقناكم من تراب ثم من نطفة ثم من علقة ثم من مضغة مخلقة وغير مخلقة لنبين لكم ونقر في الأرحام ما نشاء إلى أجل مسمى ثم نخرجكم طفلا ثم لتبلغوا أشدكم ومنكم من يتوفى ومنكم من يرد إلى أرذل العمر لكيلا يعلم من بعد علم شيئا وترى الأرض هامدة فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج (الحج: 5)

Artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah ( QS. Ah-Hajj: 5).

Landasan nas tersebut jelaslah bahwa pendidikan atau belajar adalah suatu kebutuhan manusia agar menjadi insan psripurna. Setiap manusia baru dilahirkan tidak diberikan pengetahuan sesuatu, kemudian bertahap sesuai dengan perkembangan fisiknya mereka menimba pengetahuan dari orang tua dan guru serta masyarakat sekelilingnya. Anugerah ilmu tersebut hendaknya membawa manusia sadar bahwa hidup pada hakikatnya adalah amanah untuk beribadah kepada Allah.
Landasan naqli (nash) al-Qur’an tersebut barulah sebagian kecil indikasi dan sinyalemen tentang urgensitas sebuah pendidikan dalam keluarga. Nukilan tersebut hanya sebagai dalil dan bukti konkrit bahwa al-Qur’an dengan jelas membicarakan masalah tersebut.
Adapun landasan al-Hadits di antaranya adalah:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه إبن ماجه)

Artinya: Dari Anas bin Malik Ra. Berkata, Rasulullah Saw. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan muslimat” (H.r. Ibn Majah).[24]
Sesuai dengan hadits di atas bahwa menuntut ilmu pengetahuan merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin dan muslimat secara kontinuitas, sebagai amanah Allah yang telah diwajibkan kepada mereka. Kewajiban belajar tersebut berimplikasi pada adanya suatu lembaga yang dapat mengimplementasikan perintah tersebut. Maka kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan formula di rumah tangga di-taklif-kan atas orang tua sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه (رواه البخارى) [25]
Artinya: “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).
Hadits tersebut di atas menunjukkan orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidik anak dan keluarga, sebab kedua orang tuanya yang akan mewarnai anaknya dengan Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dominasi peran orang tua dalam pendidikan anak merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, maka konsekwensinya adalah anak sebagai hamba lemah selalu membutuhkan orang dewasa untuk mendidik dan membimbingnya ke arah kedewasaan dan intelektualitas. Dengan bahasa lain lingkungan keluarga mendominasi perubahan prinsip, sikap dan sifat anak, maka jika lingkungan keluarga baik otomatis potensi kebaikan yang ada pada diri anak akan terus berkembang demikian juga sebaliknya.
Kewajiban belajar juga dapat dipahami melalui penelaahan hadits sebagai berikut:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى و مسلم)

Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari, Muslim)[26]
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran harus diberdayakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kedua orang tuanya. Taklif yang dipikulkan kepada laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) berupa tanggung jawab atas keselamatan diri, anak, harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya atau yang diamanahkan kepadanya. Tanggung jawab tersebut juga meliputi kesehatan, kesejahteraan fisik, mental moral serta kebahagiaan yang bersifat ukhrawi.[27] Mencermati ayat-ayat maupun hadits di atas, dapat diketahui bahwa konsep belajar sejak dari rumah tangga dalam perspektif Islam telah dicanangkan bersamaan dengan tugas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah.
Proses pendidikan Islam memiliki tugas pokok untuk membentuk kepribadian Islam dalam diri manusia selaku makhluk individual dan sosial. Untuk tujuan ini, proses pendidikan Islam memerlukan sistem pendekatan yang secara strategis dapat dipertanggung jawabkan dari segi pedagogis. Dalam hubungan inilah, pendidikan Islam memerlukan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan tugasnya termasuk sistem pendekatannya. Jalannya proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan dasar pendidikan agama yaitu Al-Qur’an dan hadist serta ijma’ ulama, yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan sebagaimana yang telah digariskan.
Tujuan mempelajari pendidikan Islam secara lebih luas dipaparkan oleh K. Sukarji, sebagai berikut:
Tujuan pendidikan Islam untuk mendidik anak-anak supaya menjadi seorang mukmin dan muslim sejati beramal saleh dan berakhlak karimah. Sehingga ia dapat menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup dengan kemampuannya, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah air serta berbuat baik sesama umat manusia.[28]

Dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam dapat mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah SWT, yang sangat sempurna, karena sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 30, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Isi ajaran Islam mengandung peraturan-peraturan yang kongkrit, yang memiliki fleksibelitas/ elastisitas maka akan selalu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan zaman. Terbentuknya kepribadian muslim atau terwujudnya masyarakat yang baik merupakan tujuan dan tugas dari pada pendidik agama yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadits. Namun sebelum belajar secara formal di sekolah, anak-anak terlebih dahulu telah ditanamkan pada dirinya beberapa sikap dasar dari lingkungan keluarganya, maka antara internalisasi nilai di sekolah harus terjadi singkronisasi dengan keluarga dan masyarakat dimana anak-anak menjalani hidup.
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam, di dalamnya terkandung nilai-nilai pandangan Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Arifin bahwa :
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya, mengandung di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan masing-masing yang harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilanya.[29]

Berdasarkan kutipan tersebut dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama, diantaranya adalah penentuan akhlak mulia, mencapai kehidupan dunia dan akhirat serta menumbuhkan jiwa ilmiah yang bernafaskan Islam. Dengan demikian pendidikan agama adalah proses untuk penumbuh kembangan kepribadian muslim pada manusia. Kepribadian tersebut yaitu segala tindakan dan aktivitas yang dilakukan manusia setelah mengalami proses pendidikan agama, sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Lebih spesifik lagi, Zakiah Daradjat mengemukakan tujuan pendidikan agama dalam lingkungan keluarga adalah “membentuk insan kamil dengan pola taqwa yaitu manusia yang utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT”.[30] Sedangkan dalam perspektif Oemar Muhammad At-Toumy al-Syaibani adalah bertujuan sebagai “persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat”.[31]
Melihat urgensitas pendidikan agama bagi para generasi penerus, maka pendidikan sejak dini yang dimulai dari lingkungan keluarga adalah suatu keharusan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nashih Ulwah bahwa “di dalam keluarga anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh dalam lingkungan keluarga ini merupakan penting atau utama terhadap perkembangan pribadi anak.”[32] Agama telah memberikan kaidah-kaidah yang menjadi rujukan dalam rangka mengembangkan “waladun shalihun” (anak yang shaleh).
Keluarga berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak agar mereka memiliki pedoman hidup yang benar. Para anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki mental yang sehat, yakin mereka akan terhindar dari beban-beban psikologis dan mampu menyesuaikan dirinya secara harmonis dengan orang lain, serta berpartisipasi aktif dalam memberikan kontribusi secara konstruktif terhadp kemajuan atau kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ilmiah membuktikan: (1) remaja yang komitmen agamanya lemah mempuyai risiko yang lebih tinggi (4 kali) untuk terlibat penyalahgunaan NAZA apabila dibandingkan dengan remaja yang komitmen agamanya kuat, (2) anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius, risiko untuk terlibat penyalahgunaan NAZA jauh lebih besar dari anak yang dibesarkan dalam keluarga religius.[33]
Berdasarkan kutipan dan diskripsi tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa anak adalah anugerah sekaligus amanah yang harus disyukuri dan diemban amanahnya. Di antara konsekwensinya adalah membina, mendidik, membimbingnya hingga pada taraf kesempurnaan antara jasmani dan rohaninya, membawa dan mengarahkan anak untuk menjadi ‘abid (hamba) dan khalifah Allah di muka bumi ini. Maka untuk mensukseskan kedua tugas tersebut harus dibekali Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS) serta Iman dan Taqwa (IMTAQ) yang harus dimulai dari rumah tangga.

C. Kepemimpinan Keluarga Qur’ani
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa rumah tangga adalah sebuah rumpun yang terdiri dari beberapa person yang masing-masing memiliki kedudukan dan tanggung jawab. Sistem yang berlaku dalam suatu rumah tangga akan mempengaruhi keberhasilan dalam menggapai sebuah tujuan bersama. Suami atau ayah dalam konsep Islam adalah sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam mengkondisikan rumah tangga, dengan bahasa lain ia adalah sebagai manajer atau pemimpin.
Sebagai pemimpin suami dituntut memiliki kemampuan baik ilmu, iman maupun amal yang lebih sehingga segala gerak dan tingkah lakunya dapat dilihat dan menjadi contoh tauladan bagi anggota yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan berwibawa dan ditaati bila ada kesatuan antara hati, lisan dan arkan (amal)nya. Laki-laki menjadi pemimpin dalam rumah tangga telah menjadi sunnatullah, dan seorang isteri ditugaskan untuk berperan sebagai penumbuh rasa percaya diri dan meringankan beban pekerjaan yang tengah dipikul oleh suaminya. Qudrat tersebut karena Allah telah menciptakan kaum laki-laki memiliki potensi kelebihan sebagai pemimpin dibandingkan dengan perempuan sebagaimana Firman Allah dalam surat An-Nisa; ayat 34:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: 34)

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Departemen Agama dalam menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum wanita yang menjadi isterinya dan yang menjadi keluarganya. Oleh karenanya wanita wajib mentaati suaminya. Dan apabila suami melalaikan tugas dan kewajibannya isteri berhak mengadukannya ke pengadilan yang bewenang menyelesaikannya.[34]
Senada dengan tersebut Quraish Shihab menjelaskan bahwa, kaum laki-laki adalah pemimpin dan penanggung jawab kaum wanita karena Allah telah melebihkan baik fisik penafkahan kepada isteri dan anak-anak serta kewajiban memberi mahar. Maka wanita shalihah adalah senantiasa taat kepada Allah dan suaminya selama tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi isterinya.[35]
Lebih lanjut Qurash Shihab menjelaskan bahwa dirinya tidak sependapat dengan bahwa ungkapan “lelaki” dalam ayat tersebut adalah semua dan bersifat umum kaum laki-laki. Namun ayat tersebut merupakan spesifikasi terhadap kehidupan dalam rumah tangga karena melihat alur bahasan baik sebelum maupun sesudahnya.[36]
Ibnu Katsir melihat ayat ini secara tekstual kandungannya adalah laki-laki sebagai pemimpin, kepalanya, pengurus, yang menguasai dan mendidiknya jika menyimpang.[37] Sedangkan kelebihakn kaum laki-laki atas kaum perempuan Ibnu Katsir sependapat dengan mufasir lainnya (yang penulis sebutkan sebelumnya).
Berbedahalnya dengan al-Maraghi yang menafsirkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin, pelindung dan pemelihara kaum wanita. Sebagai konsekwensi tugas ini maka laki-laki diwajibkan berperang karena ini perkara perlindungan yang paing khusus dan kaum laki-laki mendapat bagian harta warisan lebih banyak karena ia berkewajiban memberi nafkah kepada wanita. Hal ini karena Allah melebihkan kaum laki-laki atas kaum perempuan dari kejadian dan kekuasaan serta memberi mahar.[38]
Berdasarkan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa kaum laki-laki adalah sebagai pemimpin bagi kaum wanita, di samping itu juga Allah memberikan pelajaran tentang konsep pendidikan dalam rumah tangga. Di samping itu juga Allah menempatkan banyak hikmah mengapa kaum laki-laki dipilih menjadi pemimpin, kondisi dan misteri tersebut harus disikapi dengan arif dan bijaksana serta pentelaahan lebih mendalam.
Kelebihan baik fisik maupun mental selama ini menjadi alasan dasar mengapa Allah memilih kaum laki-laki sebagai Nabi, Rasul dan pemimpin. Kondisi alam yang kejam, keras dan penuh dengan tantangan dirasakan tidak cocok dihadapi oleh kaum wanita, maka mereka mendapat porsi tugas yang disesuaikan dengan fitrahnya. Sesungguhnya kepemimpinan dimaksud merupakan sebuah tanggung jawab. Artinya, kemampuan atas mengendalikan segala apa yang dipimpin dan mampu menanggung beban yang terberat sekalipun. Untuk itu, tanggung jawab di sini merupakan pembebanan dan bukan kehormatan. Yaitu, beban yang harus ditanggung oleh pihak yang mampu untuk tidak berbuat sewenang-wenang.
Tuntutan zaman dan slogan “Barat” untuk persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang mereka istilahkan dengan emansipasi/gender pada hakikatnya adalah malah justru merendahkan kaum wanita itu sendiri. Kenyataan ini karena Allah telah menempatkan posisi mereka sesuai dengan qodrat dan fitrah (potensi) mereka sebagaimana Allah senyalir dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
...ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم (البقرة: 228)

Artinya: …Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dengan demikian jelaslah bahwa kepemimpinan kaum laki-laki dalam rumah tangga adalah dalam rangka menunaikan taklif Allah yang diamanahkan. Sebagai pemimpin harus memiliki kompetensi baik ilmu maupun iman sehingga tidak menyimpang (zalim). Demikian juga harus mengadakan pencerahan atau memberikan peluang terhadap yang dipimpinnya. Rambu-rambu kehidupan baik dalam rumah tangga, sosial masyarakat maupun berbangsa dan bernegara mengharuskan setiap individu saling memahami, menghormati terhadap hak-hak orang lain.
Senada dengan itu, Rasulullah bersabda:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى)

Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari).[39]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumah tangga tersusun dari kepala rumah tangga dan para anggotanya. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Melalaikan kewajiban berarti menzalimi pihak lain. Dengan kata lain para pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai contoh teladan (uswatun hasanah) bagi yang dipimpinnya.
Maka “uswatun hasanah” dapat diartikan sebagai teladan yang baik lagi terpuji yang diikuti oleh orang banyak.[40] Adapun Prikan Burkey menyatakan bahwa uswatun hasanah adalah perbuatan nyata yang menyentuh dan merupakan pesan yang disampaikan melalui contoh perbuatan sebelum disampaikan melalui ucapan.[41] Mendahulukan contoh dalam menasehati atau mengajarkan sesutu lebih mudah diterima dan dipahami oleh orang lain, karena dapat diindrai secara langsung sehingga tidak sulit mengikutinya.
Jika diperhatikan, uswatun hasanah tidak semata memberikan contoh, akan tetapi juga harus memiliki daya tarik untuk diikuti oleh orang lain.[42] Jadi, dapat ditegaskan bahwa uswatun hasanah adalah kepribadian seseorang yang direfleksikan dalam sikap, ucapan, atau tindakan yang mulia sehingga mengundang perhatian orang lain untuk meneladaninya. Di dalam Al-Qur′an terdapat 3 tempat yang secara jelas menggunakan lafazh “uswatun hasanah”. Pertama, surat al-Ahzab ayat 21
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة...
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu, suri tauladan... yang baik.
Kedua, surat al-Mumtahanah ayat 4 yang berbunyi,
قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه

Artinya: Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang beriman dengan dia.
Ketiga, Firman Allah surat al-Mumtahanah ayat 6, yakni
لقد كان لكم فيهم أسوة حسنة
Artinya: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan Ummatnya) ada teladan yang baik bagimu).
Menurut penafsiran al-Tusi, yang dimaksud dengan posisi Rasulullah Saw. sebagai uswatun hasanah adalah teladan yang baik dalam berbagai aspeknya, baik itu perkataannya atau perbuatannya. Ketika kamu sekalian mencontohnya, maka hal itu dikatakan baik.[43] Uswatun hasanah adalah pendidikan dengan memberikan contoh yang baik kepada para peserta didik dalam ucapan maupun perbuatan.[44]
Contoh atau teladan yang baik tidak bersifat parsial (setengah-setengah atau sebagian), tetapi mencakup semua aspek kehidupan. Uswatun hasanah merupakan realitas kehidupan yang dapat diinderai yang menyeru kepada pelaksanaan sebelum pengucapan dan sebagai contoh perbuatan yang baik sehingga mampu mempengaruhi perilaku anak dalam proses pembentukan kepribadiannya. Dengan kata lain, uswatun hasanah merupakan kunci utama dalam proses transfer nilai (value).
Mengajari anak dengan berbagai materi pendidikan cukup mudah bagi pendidik, akan tetapi amat sulit bagi anak untuk melaksanakannya, jika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa orang yang mengajarinya melakukan praktek yang berbeda. Sebab sikap seperti itu menjadikan usaha yang dilakukan sia-sia belaka dan kebencian yang amat besar di sisi Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam Surat Al-Saff, 2-3.
ياأيها الذين ءامنوا لم تقولون ما لا تفعلون(2)كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون(3)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”
Dalam hubungan ini, Andewi mengutip pemikiran al-Ghazali yang menyatakan bahwa, pendidik hendaknya mengamalkan ilmunya, perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, sebab ilmu dapat dilihat dengan mata kepala dan orang yang mempunyai mata kepala lebih banyak. Jika amal bertentangan dengan ilmu, maka bimbingan tidak berjalan.[45] Perhatikan pula perkataan seorang penyair al-Daudi dalam sebuah baitnya “Janganlah Anda melarang mengerjakan sesuatu, tapi anda sendiri mengerjakan perbuatan yang serupa. Sungguh hal itu merupakan aib besar atasmu jika Anda mengerjakan yang demikian itu”.[46]
Dengan demikian maka keluarga sebagaimana hidayah (petunjuk) al-Qur’an adalah sebuah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah, maka semua hal yang menyangkut rumah tangga harus senantiasa merujuk pada konsep yang telah ditetapkan oleh syara’. Demikian juga dengan pembinaan anak-anak hendaknya bukan hanya memberikan pemahaman tentang Islam tetapi menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam khususnya isi kandungan al-Qur’an.
[1]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. II, (Jakarta: Lentera, 1996), hal. 349.
[2]Baihaqi A.K., Pendidikan Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islami, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hal. 38.
[3]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hal. 34-35.
[4]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Toha Putra, 1992), hal. 68-69.
[5]Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, (Bandung: Sinar Baru algesindo,2004), hal. 87.
[6] Kartini Kartono, Hygiene Mental, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 76.
[7]Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. IV, (Bandung: Pustaka, 2000), hal. 140 – 145.
[8]Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun Keluarga Qur’ani; Panduan Untuk Wanita Muslimah, terj. Karman As’ad Irsyady, (Jakarta: Amzah, 2005), hal. 16-29.
[9]Ali Yusuf as-Subky, Membangun Surga dalam Keluarga, terj. Fatkhurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2005), hal. 20-30.
[10]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: UII, 1995), hal. 385-386.
[11]Quraish Shihab, Tafsir…, Volume. 3, hal. 10-11
[12]Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir..., Jilid. 6, hal. 86-87.
[13]Ibnu Kasir, Tafsir..., 175
[14]Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 27.
[15]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2001), hal. 70.
[16]Ibid., hal. 71.
[17]Ibid., hal. 75.
[18]Nurcholis Madjid, dalam Pengantar Malik Fadjar, Reorientasi…, hal. vii
[19]Malik Fadjar, Reorientasi…, hal. 2 – 3.
[20]Hasan Langgulung, Asaz-asaz Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998), hal. 3
[21]Zakiah Darajat, dkk, Ilmu …, hal. 29. lihat juga A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 34.
[22]Quraish Shihab, Tafsir..., hal. 127.
[23]Ibnu Kasir, Tafsir… , hal. 175. lihat juga Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir…, hal. 152.
[24]Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.
[25]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 458.
[26] Ibid., hal. 452.
[27]Lihat Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 26
[28]K. Sukarji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama, (Jakarta: Indra Jaya, 1970), hal. 21.
[29]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 222.
[30]Zakiah Daradjat, Ilmu ..., hal. 29.
[31]Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 86.
[32]Nashih Ulwah, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asyifa’, 1990), hal. 2.
[33]Zakiah Daradjat, Problem Remaja di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 39-42.
[34]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid. II, (Jakarta: UII Press1995), hal. 169.
[35] Quraish Shihab, Tafsir..., Jilid 2, hal. 402
[36]Ibid., hal. 403-406.
[37] Ibnu Kasir, Tafsir… , Jilid 5, hal. 103
[38] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir..., Jilid. 5, hal. 41.
[39] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt), hal. 452.
[40]Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 ) Juz 28, hal. 126-128.
[41]Prikan Burkey, al-Qudwah, (al-Maktabah al-Faishaliyah,tt), hal. 19
[42]Al-Raghib al-ashfahani, Mu'jam Mufradat li Alfazh Al-Qur'an, ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ) hal.12, lihat juga Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, (New Delhi: Cosmo Publications, 1982), hal. 657.
[43]Abu Ja′far Muhammad ibn Hasan al-Tusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur′an, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turath al-′Arabi: tt), jilid 8, hal. 328.
[44] Syahidin, Metode Pendidikan Qur'ani, ( Jakarta: Misaka Baliza, 2001 ), hal. 156.
[45] Andewi Suhartini, Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual Vol III, (Jakarta: PPs UIN Syarif Hidayatullah, 2002), hal. 119.
[46]Omar Muhammad al-Taomi al-Saibani, Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 613.

Tidak ada komentar: